Alih-alih memberi sekadar sumbangan produk, mereka memilih awareness marketing—membuka obrolan tentang isu sosial tanpa nuansa jualan.
Lalu peserta menampilkan potongan narasi yang muncul kolom komen sosial media. “Saya percaya merek ini peduli karena tidak ada embel-embel ‘jualan’ biasa,” ungkap salah satu follower media sosial.
Kejujuran itu memicu persepsi positif dan meletakkan dasar bagi koneksi pribadi.
Originality tak kalah penting. Dari presentasi yang dipaparkan peserta, ada kompetisi video kreatif tentang pengurangan sampah, jingle interaktif yang menggema di stasiun kereta, hingga festival kampus inovatif. Aktivitas PR itu semua itu memicu keterlibatan ribuan anak muda.
“Ketika orang muda melihat kami berani tampil beda, mereka ikut bergabung,” ungkap peserta. Keberanian inilah yang menonjolkan merek di tengah riuhnya kampanye lain.
Kejelasan pesan atau _brand clarity_ juga dijaga melalui satu nada:. “Kami mengajak, bukan memaksa.”
Dari poster hingga buletin cetak untuk pekerja lapangan, setiap materi dirancang tanpa ambigu.
Seorang peserta menampilkaan foto staf lapangan yang menyampaikan, “Buletin ini seperti peta: jelas, ringkas, dan memudahkan kami berkontribusi.”
Kejelasan pesan melalui saluran internal yang tepat—seperti buletin ringkas dan mudah dipahami—menciptakan fondasi bagi audiens untuk merasa nyaman dan percaya. Dari situ, komunikasi tidak lagi sekadar informasi satu arah, melainkan pintu awal bagi keterlibatan yang lebih dalam.
Ketika audiens sudah paham apa yang diharapkan dari mereka, barulah lahir ikatan emosional yang menegaskan nilai bersama dan memupuk rasa memiliki terhadap merek.
Dalam konteks ini., _self-brand connection_ terbentuk saat audiens merasa nilai-nilai mereka tercermin dalam merek. “Saya bangga mengenakan merchandise sambil ikut sesi edukasi kesehatan gratis,” kata peserta program skrining.
Self-brand connection adalah tingkat di mana individu merasakan...
