MIX.co.id - Pariwisata Indonesia saat ini berada pada fase pemulihan dan transformasi, terutama setelah terdampak pandemi COVID-19. Berbagai destinasi unggulan, seperti Bali, Yogyakarta, dan Labuan Bajo, terus menarik wisatawan domestik dan mancanegara, meskipun fokusnya kini lebih pada pariwisata berkelanjutan. Pemerintah Indonesia menggalakkan promosi pariwisata yang ramah lingkungan dan berbasis komunitas, termasuk melalui program Desa Wisata yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi lokal serta melestarikan budaya dan alam setempat. Selain itu, adopsi teknologi digital semakin dioptimalkan untuk meningkatkan pengalaman wisata, seperti melalui aplikasi pemesanan tiket online, panduan virtual, dan penerapan sistem smart tourism. Investasi di infrastruktur pariwisata, seperti bandara, pelabuhan, dan jalan raya menuju kawasan wisata, juga terus diperkuat untuk meningkatkan aksesibilitas. Dengan pendekatan ini, Indonesia berharap dapat mencapai target kunjungan wisatawan yang lebih tinggi dan menjadikan sektor pariwisata sebagai pilar penting pemulihan ekonomi nasional.
Pariwisata Indonesia yang saat ini fokus pada keberlanjutan dan pengalaman berbasis komunitas memiliki kaitan erat dengan konsep JOMO (Joy of Missing Out). Wisatawan yang merasakan JOMO di Indonesia cenderung mencari pengalaman wisata yang tenang, otentik, dan jauh dari keramaian, serta lebih fokus pada relaksasi dan koneksi dengan alam maupun budaya lokal. Mereka adalah tipe pelancong yang tidak merasa tertekan untuk mengikuti tren atau membagikan setiap momen di media sosial. Alih-alih mencari spot wisata yang viral, wisatawan JOMO lebih tertarik pada destinasi seperti Desa Wisata di Bali, Yogyakarta, atau Flores, di mana mereka dapat menikmati kehidupan pedesaan, berinteraksi dengan masyarakat lokal, dan ikut serta dalam aktivitas tradisional seperti membatik, bertani, atau membuat kerajinan tangan. Contoh lainnya adalah berkunjung ke Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur bukan untuk berburu foto, tetapi untuk merasakan kedamaian sambil mengeksplorasi kekayaan biodiversitas yang ada. Atau, mereka mungkin lebih memilih berlibur di Pulau Sumba yang menawarkan pantai-pantai perawan, sunset indah tanpa keramaian, dan penginapan ramah lingkungan yang menawarkan suasana privat. Wisatawan JOMO menikmati liburannya dengan lebih mindful, menikmati kehadiran di tempat tersebut tanpa gangguan digital, dan lebih fokus pada pengalaman serta kesejahteraan pribadi.
Sebaliknya, wisatawan yang mengalami FOMO (Fear of Missing Out) di Indonesia adalah mereka yang terdorong oleh keinginan untuk mengikuti tren dan tidak ingin ketinggalan momen-momen populer yang sering dibagikan di media sosial. Mereka cenderung memilih destinasi yang sedang viral atau dikenal dengan spot-spot Instagramable. Wisatawan FOMO ingin memastikan bahwa mereka ikut serta dalam pengalaman yang sedang hits, sehingga destinasi seperti Bali, Nusa Penida, dan Labuan Bajo menjadi pilihan favorit. Contohnya, wisatawan FOMO akan berbondong-bondong mengunjungi Ayana Resort di Bali untuk berfoto di atas floating breakfast, mengejar sunrise di Bukit Campuhan Ubud, atau berpose di depan pintu gerbang Pura Lempuyang yang dikenal sebagai “Gates of Heaven”. Selain itu, mereka juga tertarik untuk mengikuti aktivitas petualangan seperti snorkeling di Raja Ampat, berburu spot foto di hutan pinus Mangunan Yogyakarta, atau menikmati ayunan ekstrem di atas tebing di Nusa Penida. Tujuan utama wisatawan FOMO adalah mendapatkan konten menarik yang bisa diunggah ke media sosial, membuktikan bahwa mereka tidak ketinggalan tren, dan sering kali mengukur kepuasan mereka dari jumlah likes dan komentar yang diperoleh. Dengan demikian, wisatawan FOMO lebih fokus pada elemen visual dan popularitas destinasi, daripada pada pengalaman mendalam atau koneksi dengan budaya lokal.
Mengubah perspektif wisatawan JOMO menjadi FOMO memerlukan pendekatan strategis yang menggabungkan daya tarik ketenangan dengan elemen eksklusivitas dan kebanggaan sosial. Salah satu caranya adalah dengan mempromosikan pengalaman unik dan privat yang sulit didapatkan di tempat lain, tetapi tetap menarik untuk dibagikan di media sosial. Misalnya, destinasi yang selama ini menarik wisatawan JOMO, seperti Desa Wisata atau resor tersembunyi di Indonesia, bisa dipromosikan sebagai hidden gems yang menawarkan kesempatan langka untuk merasakan keindahan yang belum banyak dijelajahi orang lain. Dengan menambahkan elemen eksklusivitas dan menciptakan momen yang Instagramable namun tetap otentik, wisatawan JOMO bisa tergugah rasa FOMO-nya untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut sebelum menjadi terlalu populer. Pemasaran berbasis cerita yang menyoroti pengalaman langka—seperti bermalam di glamping di tengah hutan tropis, yoga di tepi tebing yang menghadap laut, atau ritual budaya yang hanya diadakan beberapa kali dalam setahun—bisa menciptakan dorongan bagi wisatawan JOMO untuk ikut serta, agar tidak ketinggalan pengalaman yang dianggap limited edition. Dengan cara ini, elemen eksklusivitas dan aspek sosial dari FOMO dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan esensi ketenangan dan kedalaman yang dicari wisatawan JOMO.
Ke depan, pariwisata Indonesia kemungkinan akan menargetkan keseimbangan antara FOMO dan JOMO, dengan strategi yang lebih fleksibel dan tersegmentasi. Tren global menunjukkan peningkatan minat terhadap pariwisata berkelanjutan, kesehatan mental, dan pengalaman yang lebih mendalam, yang sejalan dengan konsep JOMO. Oleh karena itu, Indonesia akan terus mengembangkan destinasi berbasis alam, budaya, dan komunitas lokal, seperti program Desa Wisata dan ekowisata, untuk menarik wisatawan yang mencari ketenangan, kebersamaan, dan kualitas hidup yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, potensi besar yang dibawa oleh fenomena FOMO tetap tidak bisa diabaikan. Destinasi populer seperti Bali, Labuan Bajo dan 10 Bali Baru Indonesia akan terus dipromosikan melalui media sosial dan kolaborasi dengan influencer untuk menarik wisatawan muda yang ingin berbagi momen seru dan ikonik secara online. Dengan demikian, strategi pariwisata Indonesia di masa depan akan bersifat hibrida, menggabungkan daya tarik bagi wisatawan yang mencari pelarian dari kesibukan sekaligus mereka yang termotivasi oleh tren digital dan kebutuhan untuk tetap terhubung secara sosial. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk menjangkau berbagai segmen pasar dan memperkuat posisinya sebagai destinasi wisata unggulan di Asia Tenggara.