Insiatif sosial Sekolah Rakyat Ancol berhasil melahirkan 350 alumni yang awalnya putus sekolah karena kendala ekonomi dan masalah psikologis di rumah. Keberlanjutan SMP Terbuka ini tak lepas dari peran tim PT Pembangunan Jaya Ancol yang kompak dan berhati nurani. Siapa mereka?
Adu silat sambil berbalas pantun yang dikenal sebagai kesenian Palang Pintu dari Betawi, tampak apik dilakoni oleh sejumlah siswa SMP Terbuka Sekolah Rakyat Ancol (SRA). Kemudian, diikuti oleh penampilan puluhan siswi yang terlihat harmonis memainkan alat musik tiup dengan membawakan lagu daerah. Masih belum cukup, suguhan berupa tarian daerah oleh tujuh siswa kian menambah semarak suasana.
Pagi itu, awal Oktober, Tim Majalah MIX MarComm berkesempatan mengunjungi SRA di kawasan Ancol, Jakarta Utara. SRA merupakan salah satu inisiatif PT Pembangunan Jaya Ancol pada pilar pendidikan. Baru-baru ini, inisiatif SRA ini berhasil meraih penghargaan "Indonesia's Best Corporate Sustainability Initiatives 2019" dari Majalah MIX MarComm untuk kategori Philanthropy.
Program berkelanjutan yang telah digelar sejak 2004 itu, dikatakan Bagus Teguh Prayogo, SRA Department Head PT Pembangunan Jaya Ancol,merupakan upaya badan usaha milik Pemda DKI Jakarta ini dalam memajukan pendidikan di Tanah Air. SRA adalah sekolah yang didirikan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang kurang mampu dari segi ekonomi untuk bisa tetap belajar dan mengembangkan potensi dirinya untuk masa depan.
"Sejak dihadirkan 2004 lalu hingga sekarang, jumlah alumni yang notabene sebagai penerima manfaat sekolah ini, telah mencapai 350 siswa. Mereka ada yang sudah berkuliah di perguruan tinggi negeri, hingga bekerja. Saat ini, dengan berinduk pada SMP Negeri 59 Jakarta, jumlah siswa SRA telah mencapai 113 orang," paparnya.
Sukses SRA, diyakini Bagus, berkat solidnya tiga tim yang berpartisipasi. Ketiganya, Tim Corporate Social Responsibility (CSR) Ancol yang dipimpin langsung oleh Bagus, Tim Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia sebagai mitra, dan tim guru SRA yang jumlahnya belasan. Mereka kompak menghadirkan layanan pendidikan yang merata dan berkualitas, terutama bagi mereka yang tidak mampu.
Menurut Bagus, sejumlah tantangan harus mereka lalui dalam menjalankan SRA. Salah satunya, mendidik siswa-siswi SRA, yang 95% memiliki masalah psikologis di rumah, bahkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). "Mirisnya, karena masalah ekonomi, orangtua mereka tidak peduli dengan pendidikan anak-anak mereka," ia bercerita.
Oleh karena itu, menurut Bagus, para guru yang terpilih di SRA pun tak hanya memiliki keterampilan mengajar dan kreatif. Akan tetapi, mereka juga harus memiliki hati dan berjiwa volunteer. Sebab, dengan gaji yang standard dan tidak besar, mereka harus memiliki kebesaran hati untuk mau berbagi dan membantu siswa-siswi yang tak mampu saat mengalami masalah psikologis di rumah.
"Karena, tak sedikit siswa yang lebih betah tinggal di SRA untuk bermain dengan temannya dan berlindung kepada guru mereka, dibandingkan harus tinggal di rumah mereka—karena keterbatasan kelayakan rumah tinggal dan masalah yang harus mereka hadapi di rumah," ujarnya.
Oleh karena itu, sejumlah program dihadirkan Tim SRA demi menjawab tantangan itu. Antara lain, Inspiration Series, yakni program untuk menginspirasi siswa dengan menghadirkan para tokoh yang dinilai berhasil from zero to hero, yang dikemas dalam bentuk talkshow. Ia mencontohkan, bagaimana seorang dokter hewan Totok, yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tinggal di desa, sanggup menjadi dokter hewan di kota. "Di kelas Inspiration ini, para petinggi Ancol juga ikut terlibat untuk berbagi inspirasi. Di antaranya, Rene Suhardono (Presiden Komisaris) dan Geisz Chalifah (Komisaris)," ucapnya.
Pada tahun ini, SRA juga memiliki program "Bike to School", yakni salah satu bentuk apresiasi SRA kepada siswa-siswi berprestasi dengan memberikan fasilitas sepeda kepada siswa yang memiliki peringkat 1 hingga 3. Menurut Bagus, ada 25 sepeda yang diberikan kepada mereka yang berprestasi dan jalan ke sekolah.
Tak hanya program untuk siswa, tim SRA juga...