Sejak diluncurkan pada 2001 silam, kinerja Citilink yang dikelola oleh salah satu unit bisnis Garuda Indonesia cenderung stagnan. Dibandingkan Garuda Indonesia, sang induk yang juga flag carrier Indonesia, brand Citilink nyaris “tak berbunyi.” Maka, agar Citilink dapat bergerak leluasa dan berkembang secara fokus, Garuda Indonesia melepaskan Citilink menjadi anak usaha. Tepat pada awal 2012, Citilink resmi dikelola oleh perusahaan mandiri PT Citilink Indonesia.
Di sela-sela kesibukannya, kepada MIX, CEO PT Citilink Indonesia M. Arif Wibowo menjelaskan alasan mendasar spin off itu. Model bisnis Citilink berbeda dengan Garuda, katanya. Jika Garuda Indonesia konsepnya full service airline, maka Citilink low cost carrier. “Karena itu, agar pengembangan bisnis Citilink lebih fokus, diputuskan Citilink menjadi anak perusahaan Garuda, bukan lagi sebuah unit bisnis,” papar M. Arif Wibowo.
Tim Bravo Citilink
Keputusan ini sangat tepat. Pasca spin off, setelah pada Juli 2012 memperoleh Air Operator Certificate, kinerja Citilink melonjak tajam. Hingga September 2012 lalu, frekuensi penerbangan Citilink tumbuh 72,2%--dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah penumpang pun bertumbuh sampai 67,1%. Jika pada 2011 Citilink hanya memiliki 6 pesawat, kini Citilink memiliki 16 pesawat. Dan pada akhir 2012 ini, Citilink berencana memiliki 21 pesawat. Sampai 2015, Citilink bahkan berencana masih menambah 10 pesawat tiap tahunnya.
Kemajuan Citilink yang pesat ini, menurut Arif, tidak terlepas dari dukungan tim yang kompak yang memiliki passion dan speed yang tinggi. Tim yang solid seperti ini tentu tidak 'abrakadabra' tercipta begitu saja. Arif yang sudah lebih dari 20 tahun malang melintang di Garuda Indonesia membangunnya dengan merekrut anggota tim di luar Garuda, khususnya untuk Divisi Sales dan Pemasaran. Mengapa dari luar induk perusahaan? “Karena, kami ingin memiliki tim muda dengan mind set yang berbeda. Tim non-Garuda tentu akan lebih mudah dibentuk cara berpikirnya tentang model bisnis low cost carrier,” kata Arif mengemukakan alasannya.
Bukan hanya terdiri dari anak muda yang memiliki passion dan speed, tim Pemasaran ini diisi orang-orang dengan latar belakang karir beragam. Sebut saja, Aristo Kristandyo, VP of Marketing & Communication Citilink, lebih dulu berkarir di dunia otomotif. Sementara sang Marketing Communication Manager Reno sebelumnya berkarir di dunia kreatif di sebuah agensi dan seorang penyiar radio. Adapun Sandra Ichsan yang kini menjabat sebagai Public Relations Asst. Manager, lebih dulu berkarir di media cetak nasional.
Kunci sukses kedua adalah atmosfer sekaligus budaya kerja yang terbuka. Budaya keterbukaan itu, menurut Arif, berhasil memotong rantai birokrasi yang panjang. Untuk menciptakan keterbukaan itu, lanjutnya, markas kerja Tim Pemasaran Citilink sengaja diciptakan tak partisi, termasuk untuk ruang kerja tiga Board of Director (BOD) Citilink—Chief Executive Officer, Chief Operating Officer, dan Chief Financial Officer. “BOD turut berbaur di sana, tak ada ruangan khusus,” ujarnya sambil menambahkan bahwa hal itu dilakukan agar semua tim bisa berkomukasi dan berkoordinasi secara langsung.
Sementara untuk komunikasi harian—ketika team member tidak berada di kantor, Citilink memakai fasilitas Grup BBM (BlackBerry Messenger). “Nama grup kami Bravo Citilink,” terang Arif. Setiap individu tim dalam BBM Group ini bisa mengevaluasi eksekusi yang kurang beres yang terjadi di lapangan dengan mengemukakannya langsung di BBM Group Bravo Citilink. Dicontohkan Arif, ketika ia menjumpai logo Citilink masih menggunakan versi lama atau lantai pesawat kotor, ia bisa langsung memfoto dan meng-upload-nya ke Bravo Citilink.“Tanpa dikomentari, mereka yang bertanggung jawab atas pekerjaan itu dengan sendirinya akan tertegur dan segera memperbaikinya,” katanya.
Kunci sukses ketiga, lanjutnya, adalah pendekatan pemasaran yang berlandaskan tujuh pilar. Pilar pertama menguatkan preliminary attack, antara lain melalui iklan dan bauran pemasaran dengan mix- media channel. Kedua, brand activation yang lebih kuat. Ketiga, social media campaign, dengan membenahi Website menjadi interaktif serta mengembangkan social media Facebook dan Twitter. Bahkan, dalam waktu dekat Citilink akan segera meluncurkan Citilink TV yang berbasis social media. Keempat, new sales channel strategy, antara lain dengan akan menghadirkan banyak aplikasi mobile. “Harapannya, ke depan menjual tiket Citilink akan semudah menjual pulsa. Dan, setiap orang bisa menjual Citilink,” ia menerangkan.
Kelima adalah PR Strategy, dengan membangun publisitas misalnya. Pilar keenam, bermitra dengan pihak ketiga bak strategi kuda troya—di antaranya bekerja sama deengan sejumlah bank yang berbasis community base. Ketujuh, strategi pengukuran. “Setiap kerja tentu dievaluasi dan ada alat ukurnya. Salah satunya, melalui survei brand tracking sampai ke purchase setiap tiga bulan sekali,” katanya. Hasilnya, brand awareness Citilink mencapai 75%, berada di posisi kedua di pasar low cost carrier.
Arif lalu menjelaskan roadmap strategi Citilink. Sepanjang 2012, katanya, Citilink memang fokus pada upaya brand penetration. Memasuki 2013, Citilink akan mengarah pada network penetration. Pada 2014 Citilink akan fokus pada regional expansion. Lalu pada 2015 berencana go public dengan melakukan Initial Public Offering (IPO). Menginjak 2016, Citilink diharapkan sudah menjadi leading Low Cost Carrier. Dan pada 2017 Citilink akan fokus pada sustainable growth.