DILEMA UNILEVER: STRATEGI HARGA TINGGI VERSUS KEHILANGAN PASAR

Dalam dunia bisnis yang penuh dinamika, langkah yang dianggap bijaksana bisa berubah menjadi bencana. Semester pertama 2023, raksasa FMCG, Unilever Indonesia, menaikkan harga produknya. Namun, keputusan itu mendapat hantaman balik: penurunan penjualan dan kehilangan pangsa pasar. Apa sebenarnya yang salah dan bagaimana jalan keluar dari krisis ini?

Laporan kinerja PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) untuk semester I/2023 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Penurunan penjualan bersih yang mencapai 5,5% dari periode yang sama pada tahun 2022 menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan dengan baik dalam strategi perusahaan.

Selain itu, tren penurunan ini tampaknya berlanjut dari kuartal ke kuartal, yang merupakan indikasi bahwa perusahaan belum berhasil menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi tantangan ini.

Sebuah faktor penting yang berkontribusi pada penurunan ini adalah kenaikan harga jual yang dilakukan oleh Unilever pada tahun 2022, sebagai respons atas inflasi dan kenaikan harga komoditas bahan baku. Namun, meskipun langkah ini mungkin tampak logis dalam konteks ekonomi makro, tampaknya telah membawa konsekuensi yang tidak diinginkan bagi perusahaan.

Pengguna lebih memilih untuk beralih ke produk lain yang lebih terjangkau, sementara pesaing tidak mengikuti jejak Unilever dalam menaikkan harga, sehingga menambah tekanan kompetitif. Ini salah satu dilemma kenaikan harga.

Menyikapi hal ini, Unilever berencana untuk berhati-hati dalam menaikkan harga jual pada semester II/2023. Strategi ini tampaknya didasarkan pada pemahaman bahwa harga yang terlalu tinggi dapat merugikan pangsa pasar dan mempengaruhi reputasi merek. Meskipun ini merupakan langkah yang positif, tampaknya masih perlu ada upaya lebih lanjut untuk memulihkan penjualan dan laba.

Salah satu faktor yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah dampak dari konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina terhadap harga komoditas. Meski begitu, perusahaan harus berusaha untuk mempertahankan kualitas dan harga yang kompetitif tanpa merugikan laba.

Sebaliknya, Unilever berhasil mencetak rekor tertinggi dalam delapan kuartal terakhir pada kuartal II/2023 di angka 50,5 persen untuk margin kotor. Ini adalah hasil yang mengesankan dan menunjukkan bahwa upaya untuk optimalisasi di pabrik, distribusi, logistik, dan promosi telah membuahkan hasil.

Namun, sebaliknya, laba bersih hingga semester I/2023 turun 19,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022. Ini adalah indikasi bahwa meski ada peningkatan margin kotor, perusahaan masih berjuang untuk mempertahankan laba bersih.

Unilever Indonesia tampaknya berada dalam posisi yang menantang. Mereka harus melakukan navigasi dengan hati-hati antara menjaga harga yang kompetitif dan mempertahankan margin yang sehat. Dalam konteks ini, mungkin diperlukan strategi yang lebih inovatif dan dinamis untuk memulihkan penjualan dan mempertahankan keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang.

Penurunan kinerja paruh pertama 2023 dan langkah-langkah penyesuaian harga yang diambil oleh Unilever Indonesia, memperlihatkan bagaimana dinamika pasar dan respons pesaing bisa berdampak signifikan pada posisi sebuah perusahaan.

Menaikkan harga jual produk sebagai respons terhadap inflasi tinggi dan kenaikan harga komoditas bahan baku, satu sisi megandung harapan bisa meminimalisir tekanan pada laba perusahaan. Namun, strategi ini bukan tanpa risiko.

Tidak adanya respons serupa dari pesaing pada segmen produk yang sama menjadi tantangan tersendiri bagi Unilever. Mereka memilih untuk tidak menyesuaikan harga, yang berarti konsumen diberikan pilihan antara produk Unilever yang lebih mahal atau produk pesaing yang lebih terjangkau. Akibatnya, konsumen cenderung beralih ke produk alternatif yang lebih terjangkau, sehingga Unilever kehilangan pangsa pasarnya.

Unilever menyadari bahwa mereka harus beradaptasi dengan pasar yang kompetitif dan berubah cepat ini. Jika mereka tidak melakukannya, mereka akan berisiko kehilangan lebih banyak pangsa pasar.

Pertanyaannya, bagaimana perusahaan merespons dalam situasi seperti ini. Apakah penyesuaian harga yang lebih rendah adalah jawabannya, atau apakah ada strategi lain yang bisa diambil?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)