Enam Catatan Penting untuk Crisis Communication Air Asia

Kedua, treatment up-date yang dilakukan Air Asia tidak dilakukan secara custom. Hal itu terlihat dari press conference yang digelar hari ini (29/12) di Juanda, Surabaya, yang melibatkan juga keluarga penumpang.

“Seharusnya, Air Asia mampu mengelompokkan tiga stakeholder besar yang butuh up-date informasi. Ketiganya adalah pihak keluarga penumpang, media, dan public. Ketiga kelompok tersebut seharusnya di-treatment dengan cara yang berbeda sesuai karakter dan kebutuhan mereka masing-masing,” tambah Troy.

Jika treatment ke media dilakukan lewat keterbukaan informasi dan press conference, maka kepada keluarga korban, Air Asia dapat melakukan pendampingan kepada pihak keluarga penumpang melalui Tim Trauma and Healing Center, yang terdiri atas tenaga ahli di bidang psikologi atau para psikater dan rohaniawan.

Catatan ketiga adalah content. Dinilai Troy, dalam berbagai up-date informasi yang telah diberikan, Air Asia tidak memenuhi unsur kejelasan dan komprehensif, alias informasi tidak terstruktur. Padahal, kedua unsur itu menjadi penting dalam situasi krisis yang dialami perusahaan.

Keempat adalah tidak adanya one voice dari spoke person yang tepat. Banyak spoke person yang berbicara membuat informasi yang keluar seputar musibah Air Asia menjadi tidak jelas dan tidak komprehensif.

“Saya melihat ada banyak spoke person yang berbicara, baik di pihak Air Asia, pemerintah Indonesia, narasumber di Jakarta, Surabaya, hingga di lokasi pencarian. Padahal, seharusnya perusahaan cukup memilih satu atau dua spoke person yang dianggap berkompeten dan dapat menjadi juru bicara, baik dari Air Asia maupun pemerintah Indonesia,” ia menganjurkan. Selanjutnya, spoke person tersebut, menurut Troy, harus memliki tone dan content yang sama. Dengan demikian, setiap informasi yang diberikan menjadi jelas dan komprehensif.

Catatan kelima adalah body language para narasumber atau spoke person pada saat press conference berlangsung, tidak menunjukkan empati. Artinya, masih terlihat gesture tubuh narasumber yang senyam-senyum dan basa-basi saat diwawancara, sehingga yang tertangkap kamera wartawan adalah gesture tubuh yang tidak berempati pada musibah.

“Oleh karena itu, body language attitude dari spoke person menjadi penting. Itu sebabnya, prinsip prefentif dalam management crisis lewat berbagai simulasi atau pelatihan menjadi penting,” ia menambahkan.

Keenam, pada saat press conference, di mana media lokal dan asing hadir di sana, Air Asia tidak menghadirkan penerjemah. Padahal, penerjemah menjadi penting untuk menghindari pertanyaan berulang serta distorsi informasi. Bahkan, seharusnya perusahaan menyediakan penerjemah di setiap pusat informasi terkait musibah. “Selain itu, moderator sekaligus fasilitator di press conference kurang berperan sebagai jembatan yang baik antara narasumber dan para jurnalis, sehingga pertanyaan yang muncul menjadi kurang terfokus,” ia menyayangkan.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

1 thought on “Enam Catatan Penting untuk Crisis Communication Air Asia”

Krisis ini menjadi pembelajaran berharga bagi semua praktisi corporate communication. Tapi tidak ada yang menyenangi insiden, ataupun krisis yang terjadi pada perusahaan, yang pastinya dapat berimbas pada krisis komunikasi perusahaan. Jangan salah paham, simpati terbesar saya adalah untuk para keluarga korban. Dan juga coba bayangkan jika krisis komunikasi terjadi pada perusahaan tempat kita bekerja, tempat kita mencari nafkah. Saya yakin para tim komunikasi Air Asia Indonesia sedang melakukan segala daya upaya agar masalah ini bisa diselesaikan. Semua praktisi Corporate Communication pastinya menginginkan perusahaannya baik-baik saja.
by Fakhrurroji Hasan, 29 Dec 2014, 13:57

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)