Tren PR 2013: Selamat Tinggal PR Konvensional

Ketika Jokowi dan Ahok menang dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, banyak orang menilai kemenangan mereka karena melakukan pencitraan. Sosoknya yang dekat dengan rakyat kecil, sederhana, murah senyum, dan rajin keluar masuk kampung dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan citra positif; bagian dari polesan PR yang dibangun oleh tim-nya.

Walaupun dugaan itu belum tentu benar, namun beberapa tahun terakhir ini masalah pencitraan memang mendominasi aktivitas PR secara keseluruhan. Keberhasilan pejabat publik atau sukses peluncuran produk selalu dikaitkan dengan keberhasilan pencitraan –sesuatu yang kesannya dibuat-buat, tidak orisinal. Sehingga pencitraan dianggap sebagai satu-satunya cara mendapatkan dukungan atau kepercayaan pihak lain.

trend PR TREND - Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang makin baik bisa dijadikan momentum untuk membangun citra dan kepercayaan

Dalam diskusi dengan Indira Abidin, Wimpi Handoko dan Thomas Franky, CEO dan konsultan Fortune PR, mereka menolak anggapan itu. Menurutnya, fenomena Jokowi dan Ahok justru membalikkan stigma tentang pencitraan. Jokowi membuktikan bahwa dalam upaya membangun kepercayaan dan dukungan, dibutuhkan merek yang unik, memahami kebutuhan publiknya, relevan, dan responsif. Jokowi tidak melakukan “pencitraan” seperti politisi pada umumnya.

Ia tidak mencoba untuk “jaim” (jaga image), ia tampil apa adanya. Penampilan yang apa adanya itulah yang justru mampu mengkomunikasikan dengan baik atribut-atribut Jokowi sebagai merek yang out of the box di dunia perpolitikan Indonesia. Justru inilah esensi PR, bagaimana relevansi ditampilkan apa adanya, dengan sangat menyentuh bagi para khalayak sasarnya. Polesan tidak lagi penting di dunia yang sudah sangat penuh dengan polesan. Pembuktian lapanganlah yang mampu menjadi materi komunikasi yang sangat efektif dan mengambil hati para pemilih.

Tahun 2012 menjadi tonggak bagi dunia PR bukan dunia basa-basi. PR bukan hanya dilihat sebagai media relations, pengganti iklan, dan menghasilkan penjualan. Terbukti kini bahwa PR adalah komponen penting dalam komunikasi. Awareness saja tidaklah cukup. Stakeholder memerlukan pemahaman, keterikatan (engagement) dan keterwakilan (association) dengan mereka.

Apalagi social media juga telah secara efektif menjadikan setiap individu dan setiap organisasi sebagai media. Makin banyak pemilik merek yang sadar akan hal ini dan mendapatkan keuntungan sebagai early adopter, walaupun masih banyak pula yang masih belum mampu secara cepat beradaptasi dan akhirnya tertinggal.

Tapi yang pasti, menurut Rudy K. Gobel, praktisi PR, pendekatan MarComm menjadi lebih mendapatkan tempat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu marketer lebih memilih terhadap pendekatan konvensional seperti TVC dan yang lainnya. Maka sekarang ini PR, Aktivation, Media Release, Social Media Marketing semakin terintegrasi dengan media-media konvensional.

Penggunaan media sosial semakin banyak dijalankan pemilik merek. Begitu pula media online semakin mendapat tempat, baik di masyarakat maupun pengiklan.

Memang, akibatnya batasan antara PR dan strategi marcomm lainnya menjadi “blur”. Tidak bisa lagi melakukan pengkotak-kotakan PR, brand activation dan advertising. Semua bauran ini saling membutuhkan, dan harus diintegrasikan dengan baik. Oleh karena itu, praktisi PR pun perlu memahami berbagai bauran ini dengan baik.

Pemahaman ini akan membuat praktisi PR mampu menyusun strategi dengan proporsi yang tepat sesuai kebutuhan. Praktisi PR juga makin dituntut untuk mampu memonitor dan mengevaluasi hasil implementasi berbagai bauran tersebut secara obyektif untuk dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam membangun merek.

Secara umum peranan PR dalam berbagai industri akan tetap besar. Bahkan diperkirakan anggaran PR akan banyak mengambil porsi biaya komunikasi karena pemilik merek kini mulai berhitung terkait dengan beban anggaran iklan yang semakin besar. Ke depan, biaya media dan PR berpeluang mengambil alih beberapa fungsi periklanan terutama adanya faktor media sosial.

Yang tak kalah penting, pertumbuhan perekonomian Indonesia yang makin baik bisa dijadikan momentum untuk membangun citra dan kepercayaan terhadap Indonesia sebagai tempat investasi, perdagangan dan pariwisata yang menarik. Indonesia harus mampu membangun daya tariknya, dan berkomunikasi dengan baik. Indonesia kini sedang di masa-masa awal transformasi struktural jangka panjang yang menjadi pendorong positif bagi menggeliatnya perekonomian nasional di tahun 2013 dan tahun-tahun berikutnya. Salah satunya adalah pertumbuhan kelas menengah yang menjadi pilar kekuatan pasar domestik.

Industri PR berhak menangkap peluang emas ini. Syaratnya, industri PR harus lebih kreatif melakukan inovasi strategi guna menemukan peluang yang luar biasa untuk mengunci persaingan. Tumbuhnya kelas menengah dan perubahan perilaku mereka berpotensi menghasilkan peluang-peluang pasar baru yang menggiurkan.

Tren-tren konsumen kelas menengah seperti: pergeseran konsumsi ke produk-produk yang lebih advanc; munculnya gaya hidup dan kebiasaan; pergeseran preferensi konsumen ke arah produk-produk sehat dan ramah lingkungan; atau tren maraknya produk-produk tersier seperti perawatan tubuh dan hiburan; semuanya bisa menjadi insight luar biasa untuk berinovasi menyusun strategi komunikasi PR di tahun 2013.

Tags:
trend

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)