Ketika orang lain berbicara tentang kita misalnya, ceritanya akan lebih bisa dipercaya ketimbang kita atau saya bicara tentang kita atau saya sendiri. Dengan kata lain, PR lebih mempunyai kredibilitas ketimbang iklan.
Kedua, dengan semkain banyak organisasi, perusahaan atau merek yang beriklan di media massa, bahkan di sepanjang jalan, iklan telah kehilangan dayanya karena konsumen sudah jenuh dengan segala yang disodorkan di hadapan mata mereka.
Konsumen merasa bahwa informasi yang disajikan dalam iklan-iklan itu sepihak, tidak semua hal diceritakan, tidak semua alternative disodorkan. Hampir semua mengklaim sebagai "yang paling" atau "lebih" atau "pertama' namun tidak menjelaskan konteksnya. Dengan kata lain, iklan telah menjadi tidak otentik.
Sekarang, Pandemi 2020 menciptakan VUCA; Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (kompleks), dan Ambigue (tidak jelas).
Selama periode ketidakpastian itu, bisnis dan konsumen bereaksi, dan reaksi tersebut memiliki efek riak yang mendobrak. Strategi pemasaran berubah dan saat awal-awal pandemic, terjafdi pemotongan anggaran periklanan besar-besaran. .
Sejak pandemi, konsumen bereaksi dengan mengalihkan fokus mereka lebih ke hal-hal informasioanal daripada komersialisme. Mereka asyik dengan berita dan informasi terkini, yang dapat memengaruhi kesejahteraan mereka.
Volume konten berita yang dipublikasikan, serta konsumsi media berita, melonjak tajam. Ketika konten, reputasi dan kredibilitas menjadi semakin ke depan, disitulah peran PR menjadi semakin penting.