Banyak strategi yang diterapkan oleh perusahaan ketika masuk pasar ke negara lain. Ada yang langsung mendirikan anak perusahaan yang memproduksi atau mengimpor produk dari perusahaan induk.
Atau melakukan kerjasama dengan perusahaan lokal dan bentuk kerjasama perusahaan (joint venture); atau bekerja sama dengan importer setempat; atau penjualan lisensi atau kontrak pembelian atau penjualan teknologi proses produk, desain dan keahlian pemasaran, atau stratagi lainnya.
Ada juga model waralaba. Ini merupakan turunan dari lisensi. Dalam waralaba, hanya format bisnis yang dilisensikan, bukan produk atau teknologi. Penggunaan merek dagang, nama dagang, hak cipta, desain, paten, rahasia dagang, dan pengetahuan lainnya, mungkin bisa namun dalam paket yang berbeda dan dimasukkan dalam "paket" yang akan dilisensikan.
Yang dilakukan Nestle justru berbeda dengan yang lainnya. Ketika masuk ke pasar India, Nestle melakukan pendekatan bekerja sama dengan petani (baca peternak) kecil. Seperti yang ditulis Michael E. Porter dan Mark R. Kramer di Harvard Business Review tahun 2006, pendekatan ini menjadi contoh hubungan simbiosis antara kemajuan sosial dan keunggulan bersaing.
Pendekatan itu memberikan dampak yang sangat positif bagi perusahaan. Meski saat itu reputasi perusahaan dirusak oleh kontroversi selama 30 tahun seputar penjualan susu formula bayi di Afrika, namun strategi Nestel yang melakukan kerjasama dengan petani kecil di negara berkembang berdampak sangat positif.
Pada tahun 1962, ketika ingin memasuki pasar India, Nestle meminta izin pemerintah India untuk membangun peternakan sapi perah di distrik utara Moga. Kemiskinan di wilayah itu sangat parah. Wlayah itu nyaris tanpa listrik, transportasi, telepon, atau perawatan medis. Seorang petani biasanya memiliki kurang dari lima hektar lahan yang beririgasi buruk dan tidak subur.
Banyak petani yang memelihara satu ekor sapi kerbau yang menghasilkan susu yang cukup untuk dikonsumsi sendiri. Enam puluh persen anak sapi meninggal setelah lahir. Karena peternak tidak memiliki lemari es, transportasi, atau cara lainnya untuk menguji kualitas, susu tidak dapat dibawa ke mana-mana dan sering kali terkontaminasi atau diencerkan.
Nestle datang ke Moga untuk membangun bisnis, bukan untuk melakukan CSR, tetapi memperbaiki dan meningkatkan rantai nilai. Sebagai produsen susu, Nestle -- perusahaan asal Swiss -- sangat bergantung pada sumber susu lokal.
Pada sisi lain selain problem produk susu yang dihasilkan petani setempat, mereka juga menghadapi persoalan sebagian besar petani-petani kecil itu terdiversifikasi. Kondisi itulah yang membuat Nestel memutuskan membangun rantai nilai di Moga sehingga Nestle mengubah strategi bersaingnya dengan cara menciptakan nilai bersama.
Nestle membangun perusahaan susu berpendingin sebagai tempat pengumpulan susu di setiap kota dan mengirim truknya ke sentra-sentra produksi untuk mengumpulkan susu yang dihailkan petani.
Dengan menggunakan transportasi truk, Nestle mengirimkan para dokter hewan, ahli gizi, agronomi, dan ahli jaminan kualitas ke wilayah-eilayah itu. Obat-obatan dan suplemen nutrisi disediakan untuk hewan yang sakit, dan sesi pelatihan bulanan diadakan untuk peternak lokal.
Para petani mengetahui bahwa kualitas susu bergantung pada makanan sapi, yang pada gilirannya bergantung pada irigasi tanaman pakan yang memadai. Dengan pembiayaan dan bantuan teknis dari Nestle, para petani mulai menggali sumur dalam yang sebelumnya tidak terjangkau harganya.
Kegiatan perbaikan irigasi tidak hanya memberi makan sapi...