Olahraga sering kali digunakan sebagai alat diplomasi budaya. Namun, di balik gemerlapnya acara besar, sportswashing menjadi strategi negara otoriter untuk mencuci bersih citra mereka, menciptakan dilema etika yang perlu dihadapi.
.
.
Sabtu (16/11/2024) kemarin, di kelas Strategic Branding Communications yang saya ampu, ada diskusi menarik tentang Greenwashing. Kemarin itu bahasan sebenarnya adalah tentang bagaimana meleverage citra merek sekunder untuk suatu merek. Pertanyaan saya adalah bagaimana memanfaatkan gagasan meleverage merek sekunder itu untuk memperbaiki citra merek yang mengahadapi krisis.
Salah satu kelompok lalu memgajukan kasus Qatar waktu penyelenggarakaan Piala Dunia FIFA 2022. Menurut kelompok itu, pada waktu itu, Qatar menghadapi masalah image, mulai dari kecilnya negara, isu HAM, dan sebagai. Nyatanya, Qatar berhasil mengelenggarakan Piala Dunia 2022 dengan berhasil.
Keberhasilan Qatar dalam menyelenggarakan Piala Dunia 2022 menjadi contoh bagaimana acara olahraga dapat dimanfaatkan untuk membentuk citra internasional yang positif. Di balik megahnya stadion dan keberhasilan penyelenggaraan, terdapat perdebatan mengenai cara Qatar menggunakan momentum ini untuk menutupi berbagai isu kontroversial, termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
Seperti diketahui, olahraga telah lama menjadi alat diplomasi budaya, sebuah jembatan yang menghubungkan bangsa-bangsa di dunia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, olahraga juga menjadi alat bagi negara-negara untuk menyembunyikan atau mencuci bersih catatan pelanggaran hak asasi manusia dan otoritarianisme mereka.
Fenomena ini dikenal sebagai sportswashing, sebuah praktik di mana negara menggunakan acara olahraga besar untuk mengalihkan perhatian dunia dari isu-isu kontroversial dalam negeri (Skey, 2023; Gerschewski et al., 2024).
Apa Itu Sportswashing?
Sportswashing adalah strategi yang digunakan negara untuk memperbaiki citra internasionalnya melalui olahraga. Biasanya, negara-negara ini menghadapi tekanan internasional akibat pelanggaran hak asasi manusia, kurangnya demokrasi, atau kebijakan represif lainnya (Skey, 2023; Amnesty International, 2016).
Dengan menyelenggarakan acara besar seperti Olimpiade atau Piala Dunia, mereka berharap masyarakat global lebih fokus pada prestasi olahraga dan infrastruktur megah daripada pada pelanggaran mereka (D’Urso, 2024; Scharpf et al., 2023).
Qatar dan Piala Dunia FIFA 2022: Studi Kasus Utama
Qatar adalah contoh paling baru dan mencolok dari...