Menghindar dari tanggung jawab dan melempar ke pihak ke tiga justru akan menimbulkan antipati dari publik. Salah satu contoh yang popular adalah kasus Ford Versus Firestones yang terjadi pada Agustus 2000. Kala itu, produsen mobil Ford menyalahkan kualitas ban sebagai penyebab kecelakaan mobil tersebut.
Menurut Bambang, hal itu justru membuat perusahaan mobil tersebut menempatkan supplier ban-nya sebagai musuh, bukan sebagai tim. Di lain pihak, konsumen justru semakin menyalahkan perusahaan mobil tersebut, karena saat membeli mobil, konsumen tak memilih merek ban. Artinya, justru perusahaanlah yang memilihkan ban untuk konsumen. “Untuk itu, penting bagi tim PR dalam menentukan mana yang kawan dan mana lawan dalam situasi krisis,” sarannya.
Urgensi CEO ketika Perusahaan Menghadapi Krisis
Peran CEO sangat penting dalam proses penanganan krisis. Apalagi, bila hal itu terkait dengan keselamatan manusia. Misalnya, kecelakaan pesawat, efek penggunaan produk, kecelakaan karena kualitas produk, dan sebagainya.
“CEO adalah simbol sebuah perusahaan, sehingga kemunculan CEO dalam situasi krisis menunjukkan bahwa perusahaan menganggap bahwa issue tersebut penting, sehingga orang nomor satu pun turut turun langsung untuk memimpin operasi penanganannya,” kata Bambang, yang pernah menempati posisi Direktur Komunikasi P&G Indonesia.
Apabila perusahaan tidak memiliki seorang CEO yang mampu berdialog dengan media dengan baik, dianjurkan Bambang, maka tim PR perlu menyiapkan direksi lain di luar Direktur Komunikasi/Corporate Affairs untuk berperan. Sebab, dalam krisis besar, tampilnya Direksi merupakan hal yang sangat penting. Artinya, bukan sekadar juru bicara yang dalam struktur organisasi perusahaan tidak termasuk posisi strategis sebagai pengambil keputusan.
Dalam situasi CEO tak siap berdialog dengan media, menurutnya, CEO masih bisa dimunculkan pada kesempatan pertama tampil. Tentu saja, dengan penekanan komitmen perusahaan untuk bertanggung jawab dan menangani situasi sesegera mungkin. Selanjutnya, keterangan berikutnya cukup dilakukan spoke person yang lain, dengan menyampaikan pesan dari CEO.
“Hal itu dilakukan untuk menghindarkan terjadinya blunder, baik akibat kesalahan bicara (slip of tounge) atau bahasa tubuh yang diinterpretasikan beda. PR pun perlu mengambil alih peran komunikasi terpusat, agar CEO dan Tim Direksi lainnya bisa tetap fokus pada operasional perusahaan,” katanya.***