Ukuran pencapaian pemasaran melalui media social tidak hanya dapat dilihat dari peningkatan friends, fans dan follower. Sejatinya terdapat nilai lebih yang bisa dibangkitkan dari penggunaan media social, yakni meningkatkan keterlibatan (engagement), memberikan pengaruh dan memotivasi.
Hari ini, perusahaan yang menggunakan media social sebagai salah tools media dalam pemasaran semakin banyak. Namun, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para penanggung jawab komunikasi pemasaran saat ini adalah menentukan strategi komunikasinya dalam lingkungan dan lansekap media yang berubah. Pertanyaan kritis yang sering muncul adalah bagaimana mereka harus mengevaluasi kinerja media social dan membuktikan bahwa penggunaan media sosial lebih menguntungkan dibandingkan media tradisional.
Cukup mudah bila pencapaian pemasaran melalui media social diukur dari peningkatan friends, fans dan follower. Benar bahwa metrik ini merupakan pencerminan dari kemampuan untuk membangkitkan kesadaran tentang merek. Banyaknya friends, fans dan follower misalnya, memberikan gambaran apakah kampanye yang dilakukan suatu merek misalnya berhasil membangkitkan kesadaran dan mendapatkan perhatian dari publik. Sementara itu banyaknya orang yang menyatakan likes dan mere-Tweets yang diterimanya menunjukkan apakah upaya pemasaran yang dilakukan menimbulkan interest audience.
Namun, sejatinya ada nilai lebih yang bisa dibangkitkan dari penggunaan media social, yakni meningkatkan keterlibatan (engagement), memberikan pengaruh dan memotivasi. Customer egangement merupakan salah satu metric pengukuran yang paling penting. Engagement disini dapat berlangsung pada situasi offline maupun online baik di website bisnis dan situs jejaring sosial.
Customer engagement dapat meningkatkan pemahaman konsumen tentang merek, juga membangun loyalitas pelanggan. Salah satunya sdalah user-generated content dimana pelanggan didorong terlibat dalam kegiatan kampanye pemasaran. Selain itu, pelanggan juga didorong untuk menyebarkan informasi kampanye pemasaran. Untuk mengukur keterlibatan, beberapa praktisi pemasaran menggunakan komentar (di blog, Facebook, dll), Re-Tweets, waktu yang dihabiskan di situs Web dan sebagainya.
Memahami bagaimana hasil dari upaya pemasaran melalui media sosial terkait erat dengan kinerja bisnis menjadi sesuatu yang sangat penting pada saat penyusunan perencanaan strategi media social. Sering terjadi bahwa ketika membahas soal pengukuran, yang pertama kali muncul dalam pikiran kita adalah siapa yang harus melakukan dan bagaimana mendapatkannya. Padahal, ada persoalan lain yang jauh lebih penting, yakni identifikasi tujuan. Dengan kata lain, sebelum memulai setiap program pengukuran media sosial, manajemen harus terlebih dahulu memutuskan apa yang harus diukur, dan apa yang harus diukur itu tergantung tujuan kita memanfaatkan media social.
Seperti dikemukakan oleh Brian Solis, analis ahli digital dan penulis buku Engage! – pengukuran media sosial memiliki beberapa makna. Pertama, untuk mengetahui terpaan (exposure) yang menunjukkan sejauh mana perusahaan, merek atau organisasi Anda berhasil menciptakan eksposur isi dan pesan melalui saluran media sosial. Kedua, keterlibatan (engagement) untuk mencari tahu tentang siapa, bagaimana dan di mana orang berinteraksi dengan konten atau terlibat dengan organisasi Anda.
Ketiga, mengetahui sejauh mana pengaruh (influence) dengan memahami sejauh mana eksposur dan keterlibatan konten media social organisasi Anda mempengaruhi persepsi dan sikap audiense. Keempat, aksi (action) yang untuk mengetahui tentang tindakan -- jika ada – yang dilakukan target pasar Anda sebagai hasil dari upaya sosial media organisasi Anda.
Tujuan adalah sebuah pernyataan jelas yang mencakup pernyataan tindakan (kata kerja), waktu dan hasil yang terukur (biasanya dinyatakan sebagai persentase). Apa tujuan Anda mengukur aktivitas media social? Seperti halnya dalam komunikasi pemasaran, tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan media social cukup bervariasi. Namun, pada umumnya antara lain untuk penelitian pasar, termasuk termasuk memperoleh gambaran tentang preferensi dan persepsi konsumen terhadap produk atau merek; meningkatkan pemantauan dan respon terhadap krisis, termasuk upaya membalikkan dampak isu negatif pada merek atau organisasi dan meningkatkan citra pada pasar atau industri tertentu.
Bisa juga untuk meningkatkan jangkauan dan atau efektivitas upaya pemasaran, mengurangi biaya layanan pelanggan dan atau meningkatkan hasil layanan pelanggan, meningkatkan penjualan (dalam hal frekuensi, jangkauan atau hasil), untuk lebih menusiawikan merek, menerobos pasar baru dengan teknologi yang lebih cerdas, meningkatkan hubungan pelanggan untuk membantu meningkatkan loyalitas pelanggan.
Dengan kata lain, menghitung laba atas investasi (ROI) merupakan praktik yang biasa dilakukan marketer. Disini pemasar melacak keberhasilan program pemasaran biasa, melainkan program pemasaran media sosial, yakni dengan menghitung Return on Objectives (ROO) sebagai adalah indikator yang menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Ambil contoh program direct-mail tradisional. Disini sejumlah biaya tertentu untuk produksi dan pengiriman, dihitung melalui perbandingan tingkat respon dan penjualan yang dihasilkan dari suatu pengiriman. Lalu bagaimana pengukuran ROI untuk percakapan media sosial yang terjadi di Twitter atau Facebook? Bukankah percakapan itu memiliki nilai? Akan tetapi tidaklah mungkin menghitung ROI dari percakapan, meski hal itu tidak berarti percaapan tersebut tidak efektif dalam membangun suatu bisnis.
Oleh karena itu, meskipun alat untuk mengukur hasil pemasaran media sosial menyisakan banyak harapan, hal itu tidak berarti media sosial pemasaran bukan bagian penting dari rencana pemasaran Anda. Persoalan inilah yang bisa menjelaskan kenapa banyak perusahaan besar yang melupakan media social. Yang paling banyak mengambil manfaat dari media social justru perusahaan-perusahaan kecil. Mereka ini yang justrru bisa akrab dengan pelanggannya, meningkatkan kesadaran merek dan loyalitas, dan pertumbuhan bisnisnya.
Sementara banyak perusahaan melacak lalu lintas di web sebagai indikator kinerja pemasaran media sosial, hal lain yang juga penting adalah penggunaan metriks tidak langsung dimana sosial media bisa meningkatkan upaya pemasaran. Ini berlangsung dengan asumsi bahwa partisipasi media sosial juga dapat membantu bisnis melalui riset pasar dan layanan pelanggan.
Secara sederhana, pada dasarnya mendengarkan dan belajar di Web sosial merupakan sesuatu yang sangat membantu bisnis pertumbuhan suatu bisnis. Misalnya, ketika perusahaan melancarkan program diskon atau promosi lainnya. Media social bisa digunakan untuk melacak respon dari program tersebut.
Salah satu contoh adalah yang dilakukan Pepsi. Merek ini berhasil mengubah mindset pemasaran dari menganalisis hanya dari metrik “keras” ke kombinasi metrik keras dan lunak. Ketika Pepsi meluncurkan kampanye “Refresh Everything" tahun lalu misalnya, Pepsi tidak mematok tujuan kampanye secara spefisik untuk meningkatkan penjualan dengan persentase tertentu. Ketika itu, Pepsi hanya menentukan tujuan meningkatkan relevansi dan memperkuat merek.
Dengan menggunakan riset pasar tradisional, Pepsi menganalisis bagaimana perasaan konsumen terhadap merek Pepsi setelah kampanye diluncurkan. Kampanye itu sendiri dilaksanakan dengan konsep pemasaran terintegrasi melalui pemanfaatan media sosial dan taktik pemasaran tradisional. Sementara itu, pemantauan dan evaluasi hasil kampanye dilakukan melalui penelitian tradisional dikombinasikan dengan social monitoring analysis.
Selain itu, Pepsi menggunakan alat analisis Web tradisional untuk melacak lalu lintas di website situs. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk menentukan dampak kampanye secara keseluruhan pada audiens Web sosial, khususnya dalam komunitas niche, membuat kampanye secara menyeluruh -- mulai dari dari penetapan tujuan hingga ke perencanaan taktis dan dari eksekusi ke analisis hasil -- sebagai upaya pemasaran terpadu yang efektif. .
Demikian pula dengan Dell. Perusahaan ini berhasil mengubah pandangan terhadap Web sosial dan pemasaran sosial media dengan sangat cepat setelah mengaami bencana pada 2007. Pada 14 Juni 2007, seorang mantan karyawan yang bekerja di sebuah outlet Dell mengirim tulisan yang berjudul " 22 Confessions of a Former Dell Sales Manager" untuk salah satu blog yang paling populer, the Consumerist. Consumerist yang menerbitkan daftar yang mengungkapkan rahasia tentang program garansi, kiat-kiat untuk mendapatkan diskon, dan program promo lainnya.
Sehari kemudian, the Consumerist menerima sebuah e-mail dari Dell yang menuntut agar artikel tersebut dihapus. Namun, sampai sembilan jam kemudian, artikel tersebut belum dihapus. Dell pun mengirimkan surat untuk kedua kalinya menuntut agar posting tersebut diturunkan. Kali ini dengan melibatkan penasehat hukum. Namun, lagi-lagi the Consumerist tidak mematuhinya.
Memahami kekuatan Web sosial dan ketidakfahaman Dell tentang cara kerja Web sosial, Consumerist menerbitkan kedua e-mail dari Dell tersebut serta menunjukkan pula e-mail dari Consumerist sebagai respon terhadap surat Dell. Akibatnya, dalam waktu kurang dari 48 jam, dua postingan tersebut dibaca audience lebih dari 5.000 kali dan menerima ratusan komentar. Blogger dari seluruh dunia mengangkat cerita ini, termasuk beberapa blogger ternama seperti Jeff Jarvis dari BuzzMachine. Kejadian ini berlangsug sebelum maraknya jejaring Facebook dan Twitter. Bila itu terjadi sekarang, bisa dibayangkan besarnya fenomena tersebut.
Hanya dua hari setelah posting "22 Confessions" dipublikasikan The Consumerist, Dell langsung menyadari kesalahan dalam menangani persoalan tersebut. Perusahaan memperoleh pelajaran berharga bahwa bahwa usaha untuk menghentikan percakapan yang terjadi di situs sosial merupakan suatu kesalahan besar. Dalam upaya untuk menjernihkan persoalan, Dell lalu memposting tanggapan atas artikel "22 Confessions" dengan postingan yang berjudul " Dell’s 23 Confessions," di blognya sendiri, Direct2Dell.
Postingan tersebut diawali dengan kalimat, "Sekarang bukan waktunya lagi untuk berbasa-basi, jadi izinkan saya mengatakan hal yang sebenarnya…...kami gagal." Postingan itu diakhiri dengan kata-kata, "Tidak peduli di mana kita berada pada setiap waktu, selalu ada ruang untuk perbaikan.. Kunci keberhasilan kami di daerah-daerah tergantung pada ketepatan pembukaan jalur komunikasi dengan pelanggan kami, butuh waktu untuk menilai apa umpan balik yang berarti, dan mengambil tindakan pada umpan balik itu. Kami akan terus melakukan itu dan berpikir bahwa pada akhirnya kita akan menjadi perusahaan yang lebih baik untuk menangani persoalan itu"
Juni 2007 merupakan titik balik bagi perusahaan Dell. Dalam banyak hal mereka makin memandang pentingnya Web sosial dalam membangun bisnis. Pada tahun 2009, Dell memutuskan menggunakan strategi pemasaran media social untuk membangun interaksi merek dengan pelanggannya. Dell kini menghadirkan merek di berbagai lokasi Web social seperti mengoperasikan beberapa profil Twitter, sejumlah blog, termasuk blog Direct2Dell bagi konsumen, Komunitas social Dell bagi konsumen, Facebook dan LinkedIn, forum online yang aktif, hadir di Flickr, dan memiliki channel YouTube sendiri.
Beberapa upaya pemasaran media sosial Dell yang sukses adalah profile perusahaan melalui Twitter. Misalnya, @DellOutlet Twitter -- yang menawarkan update diskon khusus dan penjualan peralatan yang tersedia di Dell -- memiliki 1,5 juta pengikut dan bertanggung jawab atas $ 3 juta bisnis hanya dalam dua tahun. Pada bulan Desember 2009, Dell melaporkan memiliki antara 100 dan 200 karyawan yang menggunakan Twitter, dan lebih dari 3,5 juta koneksi melalui jaringan sosial utama seperti Facebook, Twitter, Flickr, dan YouTube. Itu lompatan besar dari upaya menghentikan percakapan online hanya dua tahun sebelumnya.
Dalam kasus tersebut, Dell tidak hanya menemukan cara untuk menyelamatkan reputasinya setelah bencana sosial media secara umum, tetapi perusahaan juga menemukan cara untuk menghasilkan pendapatan langsung dari alat-alat Web sosial, khususnya, melalui profil DellOutlet @ Twitter, yang menghasilkan pendapatan jutaan dolar hanya dalam waktu dua tahun.
Dell juga makin mengerti tentang bagaimana membangun komunitas di Web sosial. Sebagai contoh, Dell TechCenter adalah tujuan online untuk para pemimpin dan manajer TI untuk bersosialisasi dengan insinyur Dell. Komunitas yang dibangunnya menyediakan tempat di mana pengunjung dapat mengajukan pertanyaan dan membangun hubungan. Dell percaya komunitas telah mengurangi berbagai biaya internal dan mempercepat penjualan. Dengan kata lain, percakapan dan hubungan lahir dalam komunitas TechCenter Dell memberikan hasil yang tidak dapat dihitung tetapi dapat dievaluasi.
Lalu apa yang harus ditrack? Untuk mengukur apakah upaya pemasaran melalaui media social bekerja atau tidak, hal termudah untuk melacaknya adalah dengan melihat lalu lintas ke website, blog, atau online destination lain yang Anda gunakan. Dengan menggunakan alat Web analytics misalnya, Anda dapat mempelajari bagaimana orang-orang masuk ke website atau blog Anda Sebagai contoh, jika Anda melihat adanya peningkatan besar lalu lintas ke situs Anda dari halaman Facebook Anda, Anda mungkin dapat mengasumsikan bahwa sesuatu yang Anda lakukan di halaman Facebook bekerja.