Tren green marketing kini tengah marak di Indonesia. Banyak perusahaan yang mulai berinovasi dan berkomitmen untuk menjalankan strategi bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, termasuk peluncuran produk dan teknologi yang ramah lingkungan. PT Uni-Charm Indonesia Tbk sebagai contoh, meluncurkan Charm Herbal Ansept+ Bio, produk pembalut wanita yang menggunakan Bio Material dari tumbuhan tebu, sekaligus mengurangi penggunaan plastik berbahan dasar minyak bumi.
Samsung sebagai salah satu produsen smartphone dunia, juga meluncurkan Galaxy S23 Series 5G yang menggunakan material daur ulang, serta mendapatkan sertifikasi UL ECOLOGO® yang menjamin pengurangan dampak lingkungan. Seri ini menunjukkan komitmen Samsung terhadap inovasi dan keberlanjutan dalam bisnisnya.
HOKI, produsen beras dengan merek "Topi Koki" dan "HOKI", memanfaatkan hasil samping produksi penggilingan padi untuk mengurangi dampak lingkungan. Mereka memproduksi listrik tenaga sekam padi di Palembang dan membuat pellet dari sekam padi untuk dijual sebagai bahan bakar ke pabrik semen. Inovasi ini menunjukkan upaya perusahaan dalam menjaga lingkungan dan beradaptasi dengan era pajak karbon.
Alpha Gemilang Makmur menghadirkan kardus eco-friendly ALVAboard yang dapat didaur ulang, food grade, dan tahan air. Penggunaan kardus ini diharapkan dapat mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan oleh paket-paket yang dikirim melalui e-commerce.
PT AJINOMOTO INDONESIA meluncurkan produk MSG AJI-NO-MOTO® dengan kemasan kertas sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan plastik. Langkah ini menunjukkan komitmen perusahaan dalam berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan di Indonesia.
Dari berbagai contoh di atas, terlihat bahwa tren green marketing di Indonesia semakin marak dan banyak perusahaan yang mulai berinovasi serta berkomitmen untuk menjalankan strategi bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Peran serta perusahaan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan bisnis menjadi salah satu upaya penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Semakin banyak perusahaan yang mengadopsi green marketing, semakin besar peluang untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik dan keberlanjutan ekonomi yang lebih kuat.
Namun, fenomena ini sekaligus memunculkan risiko greenwashing, suatu praktek di mana perusahaan mencoba untuk tampak lebih ramah lingkungan daripada yang sebenarnya. Greenwashing adalah bentuk penipuan konsumen yang dapat merusak reputasi perusahaan dan merendahkan nilai autentisitas dari inisiatif ramah lingkungan.
Sebagai contoh, suatu perusahaan mungkin akan mempromosikan produknya sebagai "ramah lingkungan" atau "sustain", namun sebenarnya operasional perusahaan masih menyebabkan polusi atau masih menggunakan bahan-bahan yang merusak lingkungan. Dalam hal ini, perusahaan tersebut hanya menggunakan label "hijau" untuk meningkatkan penjualan dan citra perusahaan, bukan karena komitmen sebenarnya terhadap lingkungan.
Greenwashing bukan hanya merusak kepercayaan konsumen, tetapi juga merusak upaya keberlanjutan yang autentik. Hal ini menimbulkan kebingungan di antara konsumen dan merendahkan standar untuk apa yang seharusnya dianggap sebagai "hijau". Ini juga berpotensi merusak reputasi perusahaan-perusahaan yang benar-benar berkomitmen terhadap keberlanjutan dan green marketing.
Sejalan dengan tren green marketing, konsumen dan pengawas pasar harus lebih waspada terhadap praktik greenwashing. Penting untuk mengevaluasi klaim perusahaan dan mencari bukti yang kredibel tentang komitmen mereka terhadap lingkungan.
Misalnya, apakah perusahaan memiliki sertifikasi ramah lingkungan dari lembaga yang diakui? Apakah perusahaan secara terbuka melaporkan dampak lingkungannya? Bagaimana perusahaan mengurangi dampak lingkungan dalam rantai pasokannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk memastikan bahwa green marketing...