Inilah kisah jatuh bangun sebuah industri skala rumahan yang tersandung persoalan brand. Kisah merek saus sambal Pohon Cabe ini memberikan pelajaran berharga bahwa UKM pun perlu mendaftarkan merek dan melakukan upaya brand building.
Saat ini dijamin konsumen lebih mengenal sambal merek 2 Belibis dibandingkan Pohon Cabe. Selain umurnya yang sudah terbilang lawas, dengan kapasitas yang sudah masuk skala industri, distribusi 2 Belibis merambah demikian luas dan mampu bersaing dengan pemain besar lain semacam Indofood, ABC, Del Monte, Sasa, Cap Jempol, dan lain-lain.
Namun tahukah Anda, bahwa di masa lalu 2 Belibis punya kaitan sejarah dengan Sambal Pohon Cabe? Adalah orang tua Subandy Rachman, seorang penjual bakmi di kawasan Jakarta Barat yang awalnya membuat sambal untuk pelengkap dagangannya. Seperti dikisahkan oleh Maria Handayani (Yani), anak Subandy, sambal tersebut ternyata digemari oleh banyak pelanggan sehingga neneknya memutuskan untuk menjual tersendiri. Keputusan itu tidak salah karena dengan berjalannya waktu ia memiliki pelanggan loyal yang bertahan selama puluhan tahun kemudian.
Ketika sang nenek meninggal, usaha ini diteruskan oleh adik Subandy. Namun tak lama, usaha ini kemudian diserahkan kepada Subandy karena ia memutuskan untuk pindah ke New Zaeland bersama keluarganya. Di tangan Subandy, sambal yang telah diberi merek 2 Belibis itu lumayan maju dan mulai merambah pasar ekspor walaupun melalui jalur trading. Merek ini sudah terpersepsi karena pedasnya yang alami dengan sentuhan rasa gurih asli dari tambahan bawang putih.
Masalah muncul pada 1997 ketika Subandy lalai melakukan daftar ulang atas mereknya. Menurut Yani, ketika kemudian diurus 2 Belibis ternyata sudah diklaim oleh keponakan Subandy. Dua orang bertalian darah ini berperkara di pengadilan, tuntut menuntut yang menghabiskan energi dan biaya besar. Akhir tahun itu Subandy dinyatakan kalah secara hukum karena tidak memiliki bukti-bukti legal yang memadai. Semua sambal berlabel 2 Belibis yang ada di gudang disita karena dianggap pemalsuan. “Pokoknya Bapak bangkrut habis-habisan,” kisahnya.
Untungnya, lanjut Yani, masih ada 25 kg sambal yang belum sempat dilabeli sehingga selamat dari sitaan aparat berwajib. 25 kg itu kemudian ditempel dengan label Pohon Cabe, yang tadinya dipersiapkan sebagai merek untuk segmen ekspor mereka. Tertatih-tatih, Subandy pun harus membangun kembali mereknya dari awal.
Untungnya para distributor lama masih memiliki kepercayaan kepada Subandy kendati ia sudah dinyatakan kalah oleh pengadilan. Mereka bahkan bersedia membantu menjelaskan kepada konsumen tentang kualitas rasa Pohon Cabe yang sama persis dengan 2 Belibis. Perihal inilah yang kemudian dijadikan senjata oleh musuh bebuyutan Subandy dengan tuduhan pemalsuan. Padahal masih kata Yani, dari sisi rasa, produk pihak lawan justru mengalami pergeseran karena mereka tidak memegang resep asli milik neneknya. Di kemudian hari, Subandy mendengar kepemilikan 2 Belibis akhirnya beralih ke tangan produsen bahan kue cap Koepoe-Koepoe.
Subandy memang tidak mau mengubah resep asli milik orang tuanya yang sudah memiliki penggemar fanatik. Ia tidak pernah mau menambahkan bahan tambahan sebagai pengawet dan pewarna buatan. Dengan sangat sadar, kealamian bahan baku produknya dibranding pada label kemasan. Guna lebih memperkuat klaim tersebut, terdapat juga penjelasan agar sambal Pohon Cabe disimpan di dalam lemari es setelah kemasannya dibuka.
Pelan-pelan Subandy menemukan kembali pasarnya kendati tidak sebesar penguasaan 2 Belibis. Untuk membangun brand, Subandy banyak mengikuti pameran dan bazaar terutama yang berkaitan dengan makanan. Sebagai UKM percontohan Jakarta Barat, promosi Sambal Pohon Cabe sangat terbantu oleh pameran-pameran gratis yang difasilitasi Pemda. Di situlah selalu beredar calon pelanggan potensial, dari kalangan distributor maupun industri katering.
Namun kendati selalu menyediakan paket khusus untuk pameran dengan harga subsidi, Yani mengakui jalur ini bukan ditujukan sebagai alternative saluran distribusi. Ajang pameran hanya dimaksudkan untuk menguatkan awareness dan mencari order lanjutan, terutama dari pasar B2B. Dari kesertaan sebuah pameran makanan, Yani mengaku mereka pernah mendapatkan pelanggan baru dari Hongkong yang berkomitmen membeli Pohon Cabe secara rutin.
Ada juga distributor yang kemudian menjual Pohon Cabe secara on line, kadang-kadang secara door to door. Merek ini bahkan pernah ditawarkan dalam catalog sebuah merek MLM multinasional.
Selain itu, menurut Yani, ada sekitar 15%-20% omset Pohon Cabe yang masuk ke pasar Australia, Amerika dan Jepang lewat trading. Seorang teman Yani bahkan pernah menemukannya di Alaska. Untuk permintaan trading, Yani sangat berhati-hati. Prinsipnya order akan dilayani setelah terkirim uang muka sebesar 30%-40% dan segera dikirim setelah dibayar penuh. “Risikonya nol karena kami seperti jual putus saja,” ujarnya. Jika pun ada barang rusak, ia bersedia memberi kompensasi mengganti barang namun ongkos kirim dibebankan kepada pemesan.
Usaha Subandy tidak selalu mulus karena ia pernah bangkrut kedua kalinya ketika barangnya terjarah habis dalam kerusuhan semasa reformasi. Untungnya ketika itu Subandy sudah memiliki pelanggan tetap sebuah restoran ayam goreng cepat saji yang cukup ternama.
Pasar restoran dan katering memang menjadi penyumbang terbesar...
1 thought on “Jalan Berliku Sambal Pohon Cabe”