Pasar restoran dan katering memang menjadi penyumbang terbesar pasar Sambal Pohon Cabe dengan prosentase lebih dari 50%. Namun pasar ini agak menurun setelah restoran cepat saji di atas melepas ikatan kerjasama setelah manajemennya beralih ke tangan generasi kedua. Sang anak memutuskan mengganti sambal pelengkap ayam gorengnya dengan merek lain yang lebih murah.
Ya, masalah harga memang selalu menjadi sandungan bagi Sambal Pohon Cabe ketika melakukan penetrasi pasar. Di pasaran sebotol Sambal Pohon Cabe ukuran 140 ml dijual dengan harga di atas Rp 6.000 ketika sambal pabrikan lain memasang harga tak sampai Rp 5.000. Sebagai UKM, Yani mengaku faktor harga selalu menjadi komponen yang paling sukar disiasati. Dengan kapasitas produksi yang tidak terlalu besar (sekitar 3-4 ton/bulan), sulit bagi Pohon Cabe untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Hal ini tentu berbeda dengan industri skala besar yang bisa melakukan efisiensi berdasarkan volume produksi.
Kesulitan lain adalah ketersediaan bahan baku yang harus selalu segar untuk mempertahankan citarasa. Kapasitas freezer yang sangat terbatas membuat mereka tidak bisa memiliki stok bahan baku dalam jumlah besar. Kondisi ini menjadi pukulan berat ketika harga cabe naik tak kira-kira seperti kejadian pada akhir 2010. Yani mengaku faktor itulah yang memicu dirinya untuk menarik produknya dari sebuah hypermarket ternama karena tak sanggup memenuhi permintaan turun harga yang dituntut oleh manajemennya.
Sekali lagi, masalah harga juga selalu menjadi batu sandungan bagi Sambal cap Pohon Cabe ketika melakukan penetrasi ke pasar modern. Memang saat ini Sambal Pohon Cabe sudah berhasil masuk ke Giant, Hero, Diamond dan pernah juga di Carrefour sebelum Yani memutuskan menarik produknya setahun lalu. Namun masalah harga selalu menjadi kesepakatan yang paling sulit diambil oleh kedua belah pihak.
“Segala macam biaya dibebankan kepada kita. Sulitnya lagi bahasa hukum mereka rumit dengan buku perjanjian yang tebal. Eh, giliran mengenai angka, ngomongnya cepat dan berat,” Yani bersungut-sungut. Sebagai contoh, untuk program promo saja, mereka (hypermarket) bisa meminta sampai 15% dari harga jual, belum lagi promo paksaan ketika hypermarket tersebut berulang tahun.
Padahal, masuk ke pasar modern juga bukan perkara mudah bagi produk UKM. Ketika mengetuk satu per satu supermarket beberapa tahun lalu, Yani di-backing oleh Direktur Industri Kecil dan Menengah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jakarta Barat karena Sambal Pohon Cabe merupakan satu dari empat produk UKM percontohan dari kawasan Jakarta Barat. Dukungan sang Direktur tak main-main karena ia bersedia turun langsung mengetukkan pintu ke beberapa manajemen hypermarket.
Saat ini Yani mengaku kesulitan untuk masuk ke jaringan minimarket. Padahal menurutnya, banyak ibu-ibu yang minta Sambal Pohon Cabe dijual di Alfa Mart atau Indomart, yang lokasinya berdekatan dengan rumah mereka. “Sebenarnya kita pernah mencoba, tapi lagi-lagi mereka minta kita menurunkan harga. Itu yang paling berat,” ujarnya prihatin. Karena kondisi ini, Yani sampai berkesimpulan, ”Intinya produk IKM memang sulit bertahan lama di pasar modern.” Kesimpulan berdasarkan pengalaman pahit ini tentu harus dibantah dengan tindakan nyata oleh para pemain pasar modern yang memiliki kepedulian terhadap UKM.
1 thought on “Jalan Berliku Sambal Pohon Cabe”