Tim harus memberikan manajer unit nomor kode tertentu, memberitahu mereka di mana pada kotak nomor kode akan ditemukan, memberitahu mereka apa yang harus dilakukan dengan produk, seperti menempelkan stiker khusus, dan memberitahu mereka di mana di restoran mereka, mereka mungkin menemukan produk: dalam pendingin, atau di meja uap, di beberapa item menu tertentu.
Awal Agustus 2013 menjadi momen yang tak terlupakan bagi Solaria. Jaringan restoran yang memiliki 200 gerai di seluruh Indonesia itu dihantam isu tak sedap tentang ketidakhalalan makanan yang disajikannya. Bagaimana manajemen Solaria menjawab isu yang berbuntut pada krisis kepercayaan itu?
“Ada kerabat yang ingin membeli franchise Solaria. Tapi, ketika mau bikin perjanjian, ternyata pihak pemilik franchise tersebut mewajibkan menggunakan angchiu dan minyak babi dalam beberapa masakan. Dikomentari oleh kerabat saya, 'loh, itu khan haram.' Tapi, jawaban pemilik franchise lebih mencengangkan lagi. 'Di sini (Solaria—Red) wajib pake itu. Lagian, kita gak pake label halal, kok. Kalau gak mau, ya sudah.' Jadi, hati-hati kalau pilih restoran. Dan ternyata, Solaria memang belum terdaftar sertifikat halal dari MUI.”
Demikian petikan pesan yang bersumber dari akun media sosial @dianfitriani. Tak perlu memakan waktu lama, pesan bergulir bak virus ke seluruh pelosok Indonesia. Mulai dari status di Facebook, kiacauan di Twitter, cerita di Path, pesan berantai di instant messaging seperti BBM dan WhatsApp, hingga obrolan di komunitas online pun berembus kencang. Bahkan, isu kehalalan Solaria kala itu menjadi trending topic di Twitter. Tak tanggung-tanggung, berbagai media massa di Tanah Air pun menjadikan isu ketidakhalalan Solaria sebagai topik utama pemberitaan mereka.
Bak disambar petir di siang bolong, pesan yang beredar di awal Agustus 2013 lalu itu mengejutkan manajemen Solaria. Isu halal seputar makanan-minuman yang disajikan sebuah resto menjadi isu yang tak bisa ditoleransi di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Ketika makanan dan minuman yang dijual sebuah resto diragukan kehalalannya, jangan harap resto itu akan menjadi pilihan tempat makan.
Tak heran kalau isu ketidakhalalan makanan Solaria tadi membawa restoran ini ke status krisis. Manajemen dituntut untuk segera menjawab pertanyaan bertubi-tubi dari masyarakat maupun media massa. Apa yang dilakukan manajemen Solaria dalam mengklarifikasi tersebut?
Menurut Operasional Manager PT Solaria Dedy Nugrahadi, pada pada awalnya manajemen Solaria menganggap isu itu hal biasa yang terjadi akibat persaingan bisnis semata. Rupanya semakin dibiarkan, isu semakin meluas, terus bereskalasi menjadi isu nasional. Seperti orkestra, isu yang bersahutan itu lalu diperkeras dengan keluhan yang tiba-tiba muncul dari berbagai pihak, terkait kehalalan produk makanan Solaria. “Jelas ini menjadi kekecewaan kami. Apalagi, di tengah keberadaan kami yang ingin memajukan local brand justru dihantam dengan isu seperti ini,” katanya.
Pada pertengahan Agustus 2013, Dedy untuk pertama kalinya secara resmi membantah tudingan tersebut dan meluruskan kasusnya. Menurut Dedy, Kasus itu bermula ketika ada salah satu produsen penyedia seasoning (minyak-minyak bumbu) menawarkan produknya ke Solaria. Namun, Solaria menolak karena restoran ini, katanya, sudah memakai minyak yang berlabel halal. Dedy meluruskan bahwa kutipan pada alinea pertama di atas menyesatkan mengingat Solaria bukan restoran franchise. “Solaria adalah local brand dan kami tidak pernah berpikir untuk mem-franchise-kan merek ini,” ungkapnya.
Untuk membuktikan ucapannya, Dedy sempat memperlihatkan seluruh sertifikat halal dari bahan mentah makanan dan minuman yang disajikan restorannya. Tak hanya itu, Dedy yang mengaku seluruh karyawannya muslim ini pun menegaskan pihaknya telah berkonsultasi dengan pihak MUI.
Kendati ia mengaku belum tahu persis dampak isu yang berhembus itu terhadap penjualan produknya, secara kasat mata, terjadi penurunan jumlah pelanggan selama isu tersebut berhembus. Akibat lain dari isu tersebut, banyak pengunjung yang mulai ragu dan kerap bertanya apakah makanan di Solaria halal? Tidak jarang pula pelanggan membatalkan pesanannya.
Demi memastikan kehalalan Solaria, pada Agustus 2013 manajemen Solaria langsung mendaftarkan diri ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan sertifikasi halal. “Meski dari awalnya kami sudah halalan toyyiban, karena kami sepenuhnya menggunakan bahan makanan halal, namun kami tetap perlu kepastian di depan hukum. Hal ini penting, untuk menyakinkan konsumen lewat lembaga yang kredibel (MUI), dengan mendapatkan sertifikasi halal,” jelas Dedy.
Proses memperoleh sertifikat, menurutnya, tidak mudah. Pertama, Solaria mengajukan sertifikasi halal ke MUI pada Agustus 2013, yang disusul dengan pengajuan di tingkat provinsi. Namun, karena ketika itu isu Solaria tidak halal berkembang di sosial media, akhirnya pengajuan dimajukan ke tingkat nasional (MUI Pusat). Selanjutnya, sebanyak 200 gerai Solaria di seluruh Indonesia diinvestigasi oleh tim MUI Pusat. “Prosesnya sendiri dilakukan selama empat bulan (September hingga Desember 2013). Hasilnya, awal Desember 2013, Solaria berhasil memperoleh sertifikasi halal dari MUI,” tambahnya.
Sejumlah langkah recovery krisis yang agresif pun digelar Solaria, sejak Agustus hingga saat ini. Di antaranya, dengan terus mengedukasi konsumen melalui beragam channel komunikasi. Solaria menciptakan word or mouth, mengadakan media gathering, menyebar press release, hingga turun langsung menyapa konsumen di tiap gerai. “Langkah itu diambil untuk membalikkan keadaan, di mana kami terus dipojokkan dengan pemberitaan negatif tersebut,” ceritanya.
Dedy pun membantah langkah Solaria mengurus sertifikasi halal merupakan langkah ad hoc setelah mendapat serangan "kampanye negatif", terutama di media sosial. “Niat awal kami mendapatkan sertfiikasi halal, bukan karena itu. Apalagi, kampanye hitam itu tidak berpengaruh bagi 200 gerai Solaria,” yakinnya.
Selain dari MUI, Restoran Solaria juga mendapat sertifikasi halal dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melalui Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU). Setelah keluarnya sertifikat halal dari NU, kini pihaknya mengantongi dua sertifikat halal.
Kini, menurut Dedy, edukasi terus dilakukan. Pemanfaatan channel social media untuk mengkomunikasikan sertifikasi halal Solaria juga bakal dipertimbangkan. “Namun, saat ini yang kami harus kami fokuskan adalah tetap meyakinkan loyal cutomer on the spot (di outlet) agar mereka percaya pada kehalalan produk makanan di Solaria,” tegasnya.