Konsumen Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap smartphone dan media sosial. Namun hal itu bukan berarti beriklan di perangkat mobile menjadi mudah, sebab banyak juga yang berusaha menghindarinya. Lalu bagaimana?
Meski aplikasi pesan instan menjamur seperti Line, Facebook Messanger, WeChat, Telegram, hingga WhatsApp, orang Indonesia masih tetap setia menggunakan BBM dalam berkomunikasi sehar-hari. SimilarWeb menyatakan, 87,5% pengguna Android di Indonesia menginstal BBM. Data itu didukung dari BBM Indonesia yang menyatakan sebanyak 190 juta pengguna smartphone, baik itu berbasis Android dan iOS, telah mendaftar layanan BBM di ponsel mereka. Saat ini ada rata-rata lebih dari 65 juta pengguna aktif per bulannya.
Layanan BBM banyak diakses melalui smartphone Android, sebanyak 57 juta perangkat di urutan teratas. Di urutan kedua perbandinganya cukup jauh, yakni hanya lima juta yang memakai BBM di smartphone berbasis BlackBerry, lalu di tempat ketiga diduduki iOS dengan tiga juta unit. Bahkan Facebook yang dianggap beberapa orang beberapa tahun lalu akan mati, sepertinya kembali bangkit. Mereka selalu melakukan inovasi, yang terbaru adalah FB Live, inovasi ini menaikkan kembali gairah audiens untuk menggunakan FB. Mengapa orang mau melakukan live streaming di FB? Karena audiensnya sudah banyak, jadi akan lebih mudah menarik perhatian dibandingkan platform baru di mana harus menarik audiens dulu.
Dalam beberapa media, Indonesia diprediksi memiliki tingkat pertumbuhan pengguna ponsel tertinggi di Asia Pasifik tahun ini. Bahkan Indonesia terus memimpin pertumbuhan pengguna hingga setidaknya tahun 2020. Namun, ada hal yang perlu dicermati oleh pengelola merek. Hal ini disebabkan rendahnya antusiasme audience terhadap iklan merek di seluler mereka.
Survei yang dilakukan JakPat, Oktober 2016, menunjukkan bahwa sedikitnya pengguna smartphone yang beriteraksi dengan iklan mobile. Hanya separuh pengguna internet mobile berusia 15 - 45 tahun yang pernah berinteraksi dengan mobile adv. Yang menarik, dari responden yang beriteraksi dengan iklan mobile tersebut, lebih dari 80% mengatakan bahwa mereka melakukannya secara tidak sengaja. Artinya, mereka terpapar iklan bukan karena ingin melihat namun karena misalnya ketika mereka browsing tentang berita. Lebih dari 68% pengguna internet melihat iklan mobile saat mereka memeriksa situs berita, sementara hampir 60% mengatakan bahwa mereka melihat iklan saat mengkonsumsi video.
Menurut laporan PageFair, di Indonesia terdapat 38 juta pengguna smartphone yang menggunakan perangkat pemblok iklan mobile. Ini mengindikasikan bahwa iklan mobile bukanlah metode yang efektif untuk menjangkau konsumen di Indonesia. Pengguna digital hadir dengan perubahan yang tidak terduga sehingga pelaku industry komunikasi pemasaran tidak menyiapkan persoalan-persoalan yang muncul seperti pemblokiran iklan dan sebagainya.
Dari sisi ini kelihatan bahwa penayang iklan tidak mengoptimalkan situs mereka dengan situs yang bisa memuatnya dengan cepat. Akibatnya, tantangan besar yang harus mereka hadapi adalah terlalu banyak data, dan kemampuan yang tidak mencukupi untuk menganalisisnya dan membuat keputusan investasi yang tepat. Ada kecenderungan untuk membeli "rasa musim ini." Jadi jika influencer besar, pengiklan membelinya, tapi tidak ada yang bisa membuktikan tentang manfaat dari penggunaan data.
Hal itu menunjukkan bahwa meski banyak pengguna smartphone yang enggan menerima iklan, namun bukan berarti kiamat bagi iklan mobile. Penelitian lain menunjukkan bahwa aplikasi perpesanan (messaging apps) seperti WhattAps bisa jadi alternatif yang menjanjikan. Studi DI Marketing yang dilakukan Agustus 2016 menemukan bahwa lebih dari setengah (56%) pengguna messaging apps di Indonesia mengklik antara satu hingga tiga iklan per hari.
Seperti hanya media sosial, aplikasi messenger memiliki jangkuan yang sangat besar. WhatsApp menawarkan 700 juta pengguna, dan memiliki penetrasi lebih dari 80 persen di Eropa dan sebagian Amerika Latin. KakaoTalk memiliki 97 persen Korea. Jalur di 50-60 persen di Jepang. WeChat di China memiliki 500 juta pengguna. Snapchat memiliki 100 juta pengguna aktif setiap hari.
Pengiklan seluler dan digital memiliki keuntungan signifikan dalam menyampaikan pesan mereka dengan memahami bagaimana perasaan konsumen di saat-saat tertentu. Sebuah survei yang dilakukan Wave 9 terhadap 52.000 orang di 78 negara, menunjukkan bahwa konsumen saat ini semakin banyak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan melalui smartphone. Kegiatan termasuk pesan instan, menonton video dan mengelola profil jaringan sosial yang semakin meningkat pada tahun 2016 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, konsumen mengunggah lebih banyak video dan foto menggunakan ponsel cerdas mereka daripada sebelumnya.
Dalam konteks ini, WhatsApp bisa menjadi alat pemasaran yang sangat kuat. WhatsApp merupakan platform one-to-one yang baik untuk komunikasi langsung. Melalui WhatApps orang bisa mengirim gambar, file audio, klip video pendek produk dan pesan teks merek ke klien. Pelanggan pengguna WhatsApp dapat menanyakan tentang film dan salinan pesanan terbaru. Keuntungan utama dari WhatsApp adalah Anda tidak perlu secara eksplisit meminta pelanggan potensial untuk memeriksa messanger karena mereka terhubung dengannya.
Bagi merek yang ingin terhubung langsung dengan pelanggan secara informal dan intim, ini adalah cara yang bagus untuk melakukannya dalam skala yang besar. Ada pergeseran dalam strategi beriklan perusahaan-perusahaan yang terjadi belakangan ini. Perusahaan tetap ingin menghabiskan lebih sedikit uang mereka untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Salah satunya dalam konteks perikalanan digital adalah bagaimana membuat konten yang hasilnya seperti tak ada habisnya.