Mengapa TV Masih Powerful?

Ada fenomena marketing communications menarik di Indonesia. Meski media sosial dan internet berkembang pesat, namun televisi masih menjadi pilihan kendaraan periklanan di seluruh industri di Indonesia. Kenapa?

Tahun ini eMarketer memperkirakan bahwa belanja iklan di Indonesia mencapai US 2,8 miliar. Menurut SK Biswas, COO of Dentsu Aegis Network Indonesia, seperti dikutip eMarketer, belanja barang-barang konsumsi (FMCG) tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan periklanan di Indonesia.

Hal ini disebabkan rata-rata keluarga Indonesia menghabiskan $ 55 dari setiap $ 100 untuk makanan dan minuman. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, iklan FMCG di TV, cetak, dan radio menyumbang 61% dari total pengeluaran media. Setelah itu, telekomunikasi dan pengeluaran untuk iklan mobil. Fenomena ini mirip dengan India yang belanja iklan juga didominasi oleh FMCG. Namun, tidak seperti China yang belanja iklannya didominasi kategori jasa, teknologi, keuangan, dan produk untuk kecantikan.

India memang anomali. Lihat saja pertumbuhan koran cetak disana. Bila di negara belahan dunia lain pertumbuhan koran cenderung menurun, di India justru naik. Bukan karena teknologi internet di India kurang berkembang, justru sebaliknya. Meskipun pertumbuhan media digital di India cukup tinggi, tetapi televisi dan media cetak format tradisional masih menjadi bagian terbesar dari total belanja iklan media.

Data terbaru dari eMarketer memperlihatkan bahwa belanja iklan TV di India diperkirakan sebesar 39,3% dari total pengeluaran iklan media tahun ini. Sedangkan koran diperkirakan mencapai 33,9%. Data perkiraan belanja iklanyang dirilis KPMG dan the Federation of Indian Chambers of Commerce (FICCI) juga ssekitar angka tersebut. Penelitian dari dua entitas itu menemukan bahwa iklan cetak yang dihasilkan mencapai $ 3,0 miliar pada tahun 2016, sementara TV juga mencapai $ 3,0 miliar.

Di India, pendapatan media cetak dari iklan terus berkembang. Disini koran khusus sangat efektif bagi pengiklan untuk menjangkau khalayak secara signifikan. Penelitian dari KPMG/FICCI menemukan bahwa tahun lalu pendapatan surat kabar dari iklan dan sirkulasi di India mencapai $ 4,3 miliar. Sementara itu pendapatan majalah memang turun menjadi hanya $ 199.5 juta pada tahun lalu.

KPMG / FICCI melaporkan bahwa pertumbuhan koran itu disumbangkan oleh koran-koran yang diterbitkan dalam bahasa Hindi dan bahasa lokal lainnya. Dialek umumnya disebut sebagai koran “vernakular”. Gambaran ini memberikan peluang bagi pengelola merek untuk menempatkan iklannya di media-media tesebut sebagai perluasan jangkauan target market yan selama ini mungkin belum tersentuh iklan di media cetak.

Menurut penelitian, pendapatan iklan koran berbahasa Inggris tumbuh 3,5% pada 2016, dibandingkan dengan 7,1% untuk koran berbahasa Hindi dan 8,7% koran berbahasa daerah. Koran berbahasa Inggris hanya beredar di kota-kota terbesar di India, Ini berarti mengabaikan pembaca di kota-kota kecil dan daerah pedesaan yang lebih menyukai konten dalam bahasa lokal mereka.

Tidak seperti di pasar dengan ekosistem digital yang lebih maju, pendapatan surat kabar di India belum menghadapi tantangan serius dari saluran konten digital. Namun, munculnya digital tidak bisa dihindari. eMarketer memperkirakan tingkat pertumbuhan tahunan jumlah pengguna smartphone di India tetap berada di dua digit pada 2019, dan meningkat menjadi 9,8% pada tahun 2020. Pada saat itu, 28,8% dari total penduduk negara itu diperkirakan memiliki dan menggunakan smartphone setidaknya sekali per bulan.

Perusahana konsultan dan riset KPMG / FICCI menemukan bahwa karena adopsi perangkat pengakses internet yang kebanyakan smartphone, serta makin murahnya tarif data 4G di pasar layanan mobile yang menjadi semakin kompetitif, menjadi ancaman bagi penerbit surat kabar karena media digital makin berkembang dan masuk ke pasar lapisan bawah yang selama ini masih menyukai membaca koran tradissional.

Di India, China dan negara-negara di Asia termasuk Indonesia media televisi masih dianggap sebagai media yang memiiki jangkauan signifikan. Penterasi televise di Indonesia mencapai 90%, sementara surat kabar dan majalah bila digabungkan penetrasinya kurang dari 15%. Untuk mendapatkan jangkauan yang sama seperti TV, memilih media lainnya berarti harus mengeluarkan baya yang lebih mahal. Selain itu, biaya per titik rating di Indonesia termasuk yang terendah di dunia.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)