Dua tahun lalu, Majalah Mix-Marcomm bekerjasama dengan Qasa Strategic Consulting melakukan survei di tujuh kota besar guna mengetahui sejauh mana tingkat kepuasaan para pedagang eceran di Indonesia terhadap layanan yang diberikan oleh pemilik merek.
Temuan dalam penelitian ini memberikan bukti bahwa layanan harus diberikan produsen kepada pengecernya tidak bisa secara pukul rata. Produse harus mempertimbangkan tingkat kepentingan dari layanan tersebut. Lalau bagaimana mengintegrasikan antara kepentingan produsen, pengecer dan konsumen?
Berhasil tidak suatu merek, di samping bauran pemasaran perusahaan serta sikap dan perilaku konsumen, sangat bergantung pada dukungan dari saluran ekternal. Contoh dari proses eksternal yang bisa mempenaruhi keberhasilan suatu mereka diantaranya adalah manajemen merek yang dilakukan produsen untuk merangsang permintaan konsumen akhir terhadap mereknya dan manajemen key-account yang menjamin representasi kepentingan merek produsen di dalam saluran.
Dalam kaitannya dengan rantai distribusi, dukungan channel ini melibatkan banyak proses. Namun seringkali evaluasi tentang hal ini biasanya membahas masalah hubungan antara perusahaan dan pengecer, seentara hasil akhirnya yakni dampaknya terhadap kepuasan pelanggan merek jarang disinggung.
Dalam tulisan sebelumnya, peranan pengecer ini makin diakui kepentingan, terutama ketika promosi melalui iklan sudah kelewat berisik. Karena itu, ketika pengecer sebagai ujung tombak yang berhadapan langsung dengan konsumen akhir memberikan rekomendasi suatu merek kepada konsumen, maka hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Ini karena rekomendasi yang diberikan pengecer kepada konsumen akhir bisa mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli atau tidak membeli suatu merek sehingga secara langsung bisa memberikan kontribusi pada penjualan.
Persoalannya adalah bagaimana menarik manfaat hubungan yang dinikmati oleh perusahaan dan peritel tersebut menetes ke konsumen. Dalam konteks hubungan produsen dan pengecer, ada asumsi bila pengecer puas terhadap layanan yang diberikan oleh produsen maka pengecer cenderung merekomendasikan merek tersebut kepada pelangan.
Yang jadi pertanyaan, apakah bila pengecer puas juga membuat pelanggan pengecer tersebut puas? Dalam arti konsumen akhir juga ikut menikmati hubungan manis antara perusahaan dan pengecer itu. Soal ini menjadi menarik karena sedikitnya penelitian yang membahas tesebut. Hoeffler dan Keller (2006) menyatakan kurangnya penelitian ekuitas merek dalam saluran pemasaran. Padahal, beberapa penulis (Moreau et al, 2001;. Webster, 2000;. Glynn et al, 2007) mengakui, perspektif yang lebih luas dalam hubungan triad antara produsen-pengecer-konsumen tersebut sangat diperlukan.
Seperti diketahui, proses penciptaan nilai antara produsen dan pengecer melibatkan proses atau operasional eksternal produsen. Contoh dari proses ini meliputi manajemen merek untuk merangsang permintaan konsumen akhir terhadap merek dan manajemen key-account yang menjamin representasi kepentingan merek produsen dalam saluran tersebut. Dalam proses ini produsen harus mengenali banyaknya proses yang berlangsung di toko pengecer, termasuk bagaimana pengecer mengelola tokonya, mengatur bagaimana merek tersebut ditawarkan kepada konsumen ketika berada di dalam toko dan kerjasama koordinasi antara produsen dengan pengecer.
Dari perspektif pengecer, produsen adalah sumber daya yang dianggap bisa memberikan nilai kepada pelanggan mereka. Dalam terminologi branding, sumber daya tersebut menjadi suatu ingredient brand untuk pengecer dan umpang bagi pelanggan. Srivastava et al. (1998) menggunakan istilah aset berbasis pasar untuk menggambarkan bagaimana sumber daya ini menghasilkan keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan. Dalam saluran distribusi aset berbasis pasar ini tertanam dalam rutinitas antar-organisasi (Dyer dan Singh, 1998). Ini terkandung pengakuan bahwa bahwa hubungan antar-perusahaan sangat diperlukan guna memanfaatkan nilai-nilai dari aset tersebut.
Sumber-sumber keunggulan hubungan antar-organisasi tersebut meliputi: aset relasional khusus (ekuitas merek), knowledge sharing (informasi pasar), sumber daya pelengkap (pengeluaran untuk biaya pemasaran merek) dan tata kelola kerjasama antara tenaga penjualan dan belanja iklan secara efektif.
Namun demikian, keputusan pengecer tentang merek dari produsen dapat mempengaruhi kinerja merek (Buchanan et al., 1999). Contoh keputusan yang diambil pengecer tersebut meliputi penempatan display merek dan lokasi rak dalam toko. Verbeke et al. (2006) menemukan bahwa kekuatan merek dari produsen mempengaruhi keputusan yang diambil pengecer tentang dimana dan bagaimana merek tersebut ditempatkan di rak toko pengecer dan keputusan apakah merek tersebut dipromosikan atau tidak.
Penelitian yang dilakukan oleh Glynn et al. (2007) menunjukkan bahwa produsen memberi keuntungan kepada pengecer melalui beberapa cara. Pertama, keuntungan finansial yang diperoleh dari menjual merek. Kedua, dukungan produsen terhadap pengecer dalam menciptakan dan memenuhi harapan pelanggan, dan ketiga pertimbangan ekuitas merek.
Manfaat keuangan mencerminkan aspek transaksional dari suatu merek yang diterima pengecer. Transaksi ini meliputi volume, keuntungan dan harga. Dukungan manfaat yang diberikan produsen dalam konteks bauran pemasaran merek ini termasuk diantaranya dukungan iklan. Dukungan iklan yang dilakukan produsen ini dianggap penting dengan beberapa berkomentar seperti bahwa 'merek jarang menjual dirinya sendiri'.
Produsen merek memungkinkan pengecer untuk menawarkan berbagai macam merek atau produk yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh pengecer kepada pelanggan mereka. Bauran pemasaran merek juga merangsang pengecer untuk memperluas kategori produk yang mereka jual. Perluasan atau semakin beragamnya produk yang ditawarkan oengecer tersebut biasanya didasarkan atas informasi pasar dan kategori produk dari produsen ke pengecer. Disini produsen memenuhi kebutuhan pengecer akan produk. Dengan ketersedian produk tersebut di toko, maka harapan pelanggan pengecer akan ketersediaan produk terpenuhi.
Di sisi lain, sebagai titik kontak interaksi antara merek dan konsumennya, pengecer bisa menyerap informasi tentang masalah yang dihadapi, harapan dan kebutuhan konsumen. Melalui informasi tersebut, produsen bisa menciptakan produk atau jasa yang bisa memenuhi harapan dan kebutuhan konsumen. Dalam konteks ini, model integrasi antara produsen-pengecer-konsumen hendaknya dibangun secara setara sehingga benar-benar terjadi interaksi secara wajar.
Terkait dengan masalah ini, Majalah MIX MarComm dan Qasa Strategic Consulting melakukan survei di tujuh kota besar yaitu, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan & Makassar guna mengetahui sejauh mana tingkat kepuasaan para pedagang eceran di Indonesia terhadap layanan yang diberikan oleh pemilik merek.
Dalam penelitian ini, terdapat tiga variabel yang diukur, yaitu produk, service, dan support (dukungan) prinsipal untuk promosi di toko. Masing-masing variabel diukur oleh sejumlah indikator. Variabel produk diukur oleh indikator: kemudahan pedagang eceran memperoleh barang, keuntungan atau margin yang diperoleh pedagang, jenis kemasan yang tersedia, dan kemudahan barang terjual.
Variabel service diukur oleh indikator kondisi kualitas barang ketika diterima/dibeli pedagang eceran, kemudahan menyampaikan keluhan tentang kualitas barang yang dibeli, dan kemudahan pembayaran ketika membeli produk. Sedangkan variable support diukur oleh empat indikator: ketersediaan promosi untuk toko (diskon, misalnya), ketersediaan promosi untuk konsumen, fasilitas penunjang untuk jualan di toko, dan ketersediaan materi promosi (spanduk, stiker, banner, papan toko, dan lain-lain).
Masing-masing indicator diboboti dengan tingkat kepentingan dari masing-masing indicator tersebut. Persoalannya adalah apakah semua indicator tersebut mempunyai kepentingan yang sama di setiap kota, produk dan jenis gerai. Temuan yang didapat dari penelitian ini adalah adanya keragaman dalam tingkat kepentingan tersebut baik berdasarkan daerah penelitian, jenis pengecer maupun berdasarkan kategori produknya. Untuk minyak goreng misalnya, secara keseluruhan pengecer lebih mementingkan keuntungan atau margin yang diperoleh ketimbang kepentingan lainnya. Itu juga yang terjadi pada produk juice, jeli snack, dan obat batuk.
Bila dilihat dari masing-masing kota, keragaman tingkat kepentingan juga ditemukan. Pengecer di Jogyakarta, Surabaya dan Makasar misalnya melihat kemudahan memperoleh barang sebagai faktor terpenting. Sementara itu pengecer kota Jabodetabek, Bandung, Semarang dan Medan melihat keuntungan/margin yang diperoleh sebagai yang paling penting. Sedangkan bila dilihat dari jenis toko ecerannya, tak ada perbedaan tingkat kepentingan yang signifikan di antara jenis-jenis gerai tersebut.
Adanya keragaman dalam tingkat ke[entingan di masing-masing wilayah dan kategori tersebut mengisyaratkan produsen bahwa untuk memuaskan pengecernya, produsen tidak tidak bisa memberikan insentif secara pukul rata. Untuk memberikan kepuasan kepada pengecernya, produsen harus mempertimbangkan besar kecilnya tingkat keptngan dari faktor-faktor atau layanan yang membuat pengecer menjadi puas.