Sebagai seorang profesionl di bidang pemasaran, David Meerman Scott – eksekutif pemasaran yang kemudian menjadi penulis buku laris versi BusinessWeek, The New Rules of Marketing & PR -- membuka dirinya sendiri. Menurut Scott, sepanjang karirnya dia selalu berurusan dengan diskusi – dalam konteks produk yang dipasarkannya -- tentang bagaimana agar bisa masuk ke dalam kepala konsumen.
Untuk maksud tersebut, dia menggunakan berbagai macam instrumen yang banyak dikenal oleh para pemasar berbagai generasi. Dia melakukan penelitian tentang pembeli dengan mewawancarai mereka. Dia juga memanfaatkan sumber-sumber data sekunder seperti menjaring pendapat analis dan studi-studi lainnya. Berbekal informasi tersebut, dia memberikan arahan kepada tim-nya.Yang di departemen periklanan misalnya, diberi arahan bagaimana membuat iklan, situs web, atau stand pameran yang baik. Hasilnya, sebelumnya diluncurkan ke publik, semua itu diuji melalui focus group discussion atau alat pengujian lainnya.
Namun belakangan dia menyadari bahwa bahwa informasi yang diberikan itu minim. “Sialan, saya pikir saya melakukannya dengan benar - sampai saya membaca buku The buying brain. Di halaman-halaman buku ini, saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya telah difokuskan hanya pada bagian kecil dari otak konsumen produk saya,” kata Scott yang juga dikenal sebagai ahli strategi kepemimpinan pemikiran on-line yang karyanya banyak mendapat penghargaan. Program pemasaran yang dia kembangkan berperan besar dalam memberikan kontribusi pada pencapaian penjualan produk dan jasa senilai lebih dari satu juta dolar di seluruh dunia.
.
Seperti yang juga terjadi pada sebagian besar pemasar, banyak pemasar strategik – terasuk Scott – yang terobsesi untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang dilihat, disentuh, dan didengar oleh konsumen. Mereka biasanya menggali informasi tersebut melalui serangkaian riset yang menggunakan metode konvensional, yakni survey. Mereka mengajukan pertanyaan yang dirancang kepada konsumen untuk menyelidiki pikiran sadarnya.
Pertanyaan yang sering diajukan melalui survey tersebut seperti "Apakah Anda suka iklan ini?", dan "Ketika saya menyebutkan merek ini, hal apa yang Anda pikirkan?" atau "Apakah Anda lebih suka yang berwarna merah atau hijau untuk tombol itu?" Jawaban-jawaban yang diberikan oleh konsumen atas pertanyaan-pertanyaan itu lebih menggambarkan apa yang ada di pikiran sadar mereka.
Karena itu, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi kuno manakala pemasar mengetahui bahwa sejatinya ada potensi untuk menggali informasi yang lebih bermanfaat daripada sekadar menggali informasi tentang kesadaran mereka. Kenapa? “Dalam buku yang luar biasa ini, Dr AK Pradeep menunjukkan kepada kita bahwa sekitar 95 persen dari keputusan pembeli yang dibuat oleh pikiran bawah sadar,” kata Scott.
Buku The buying brain: secrets for selling to the subconscious mind yang ditulis Pradeep ini bahasannya fokus pada bagaimana dan mengapa otak konsumen mempengaruhi keputusan membeli atau tidak yang diambil oleh konsumen. Pelajaran mendasar yang akan diperoleh dengan membaca buku ini adalah bahwa otak manusia banyak memproses input sensorik bawah sadar mereka. Hal ini berlawanan dengan intuisi karena kita tidak dapat berpikir tentang bagaimana kita berpikir ketika kita secara tidak sadar memikirkan sesuatu. Dengan kata lain, sebagian besar kerja otak yang kita lakukan sepanjang siang dan malam hari terjadi di bawah ambang kesadaran kita.
Bagaimana cara kita mengenali pikiran di bawah sadar itu? Pradeep menggunakan konsep neuromarketing sebagai dasarnya. Neuromarketing adalah ilmu yang mempelajari reaksi sinyal otak terhadap suatu produk yang kemudian digunakan untuk kebutuhan strategi marketing. Pradeep menerapkan teknik ini dengan mengunakan dua pendekatan kunci, takni penggunaan teknik electroencephalography, teknik pemindai otak melalui fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging), serta Biometrics
Dalam dunia kedokteran, EEG dikenal sebagai suatu tindakan medis berupa penempelan electrode pada permukaan kulit kepala untuk menangkap aktifitas listrik di otak.EEG berguna untuk menyokong diagnosa epilepsi, maupun non epilepsi seperti gangguan tidur, dan sebagainya. Sementara itu itu, fMRI adalah alat pemindai otak yang dapat memprediksi apa yang akan dilakukan seseorang. Ini berarti informasi yang dihasilkan alat pemindai lebih maju daripada dirinya sendiri, karena informasi yang diperoleh berupa gambaran apa yang ingin dilakukan oleh seseorang.
Alat ini mungkin akan menjadi jalan yang ampuh bagi pengiklan yang ingin memotivasi konsumen. Ini karena alat tersebut mampu memprediksi perilaku yang akan dilakukan oleh konsumen. Informasi ini makin penting karena, seperti yang dikatakan oleh Emily Falk dan rekan-rekannya di Universitas California, Los Angeles, dalam Journal of Neuroscience, banyak orang memutuskan untuk melakukan sesuatu, tetapi kemudian tidak melakukannya.
Perubahan tiba-tiba itu bisa karena selama berlangsung proses mengakses informasi yang tersimpan dan menerjemahkannya menjadi respon fisik, bisa jadi menyebabkan otak untuk mengubah respon aslinya. Inilah yang membuat seseorang menunjukkan tindakan yang berbeda dengan apa yang dikatakan atau dipikirkannya.
Nah, untuk mengetahui anomali ini, Pradeep menggunakan teknik biometrics. Ini adalah istilah keseluruhan yang merupakan pengukuran respon fisiologis dalam tubuh – tidak secara langsung di dalam otak – sebagai akibat dari rangsangan eksternal atau yang kita alami dengan indra kita. Contoh tindakan biometrik termasuk jantung dan pernapasan,
gerakan mata, berkedip, respon otot kulit galvanik (GSR), gerakan otot wajah, dan gerakan tubuh.
Dengan kata lain, biometrik ini merupakan indikator indikator...