Nation Branding Is Dead

Pengeloaan merek secara komersial efektif karena perusahaan yang memiliki merek tersebut memiliki kontrol yang tinggi terhadap produk itu sendiri dan saluran komunikasi, dan sebagainya. Karena itu dapat secara langsung mempengaruhi pengalaman baik konsumen produk, dan cara di mana produk ini disajikan melalui media. Itu sebabnya, sebuah perusahaan yang baik dengan produk yang baik dapat -- dengan keterampilan, kesabaran dan sumber daya memadai -- membangun citra merek yang diinginkannya.

Tempat (places) sama sekali berbeda. Tidak ada badan tunggal, politik atau sebaliknya. Desa terkecil misalnya adalah jauh lebih kompleks, lebih beragam dan kurang bersatu dibandingkan sebuah perusahaan. Ini karena alasan porang-orang yang tinggal disana berbeda-beda dari setiap individual. Tempat tidak memiliki tujuan tunggal mempersatukan, tidak seperti kredo sederhana nilai pemegang saham yang mengikat perusahaan bersama-sama: kontrak kerja terutama tentang tugas, sedangkan kontrak sosial terutama tentang hak-hak.

Ini tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa reputasi suatu negara memiliki dampak mendalam terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik, meski hal tersebut tidak ada yang sangat mengejutkan atau kontroversial. Jadi tidak lagi hanya bisnis yang mengakui kegunaan pemasaran. Partai politik, pemerintah, badan amal, badan-badan negara dan LSM beralih ke pemasaran ketika mereka mulai memahami bahwa sesuatu yang benar memang harus dijual.

Menurut Simon Anholt yang juga menulis buku Brand New Justice dan Competitive Identity ini, sejatinya “nation branding” itu tidak ada. Ini adalah mitos, dan mungkin merupakan satu hal yang berbahaya.
Mengapa? Di satu sisi, 'merek' adalah metafora yang sempurna sebagai jalan untuk bersaing di pasar global bagi produk, jasa, peristiwa, ide, pengunjung, bakat, investasi dan pengaruh. Namun itu hanyalah realitas fenomena globalisasi yang tak terhindarkan. Sebab di sisi lain, 'branding' membuat banyak orang berpikir dangkal dalam melakukan trik pemasaran.

Dalam buku Competitive Identity, Anholt menyebutkan bahwa sebagian besar negara berkomunikasi dengan dunia melalui enam saluran. Pertama, promosi pariwisata dan pengalaman orang yang mengunjungi negara tersebut sebagai turis atau pelancong bisnis. Mereka inilah yang paling bersuara keras.

Kedua, ekspor merek yang bertindak sebagai duta dari masing-masing citra negara di luar negeri. Hanya saja, negara asal mereka harus dinyatakan secara eksplisit. Ini karena jika tidak ada yang mengetahui asal produk tersebut, produk tersebut tidak dapat mempengaruhi perasaan mereka tentang negara itu. Contohnya, Mercedes (made in Jerman) atau Sony (made in Jepang) atau Red Stripe (made in Jamaika), merupakan duta dari citra negara yang dapat berbicara sebagaimana kampanye pariwisata.

Ketiga, kebijakan pemerintah negara itu, apakah itu kebijakan luar negeri yang secara langsung mempengaruhi dunia, atau kebijakan domestik yang akan dilaporkan oleh media internasional.
Keempat, audiens bisnis atau tentang bagaimana negara tersebut menarik investasi masuk,
perekrutan tenaga dan mahasiswa asing, serta bagaimana negara tersebut melayani ekspansi perusahaan asing ke negara tersebut.

Kelima, melalui pertukaran dan aktivitas budaya, dan tur dunia oleh tim olahraga, rekaman dari seorang musisi terkenal, karya penyair dan penulis dan pembuat film. Bahkan produk budaya seringan Crocodile Dundee atau Madagaskar dapat memainkan peran dalam membangun reputasi bangsa.

Keenam, orang-orang dari negara itu sendiri. Ini dicerminkan oleh perilaku para pemimpin, media dan bintang olahraga, serta masyarakat pada umumnya. Juga bagaimana mereka berperilaku ketika di luar negeri dan bagaimana mereka memperlakukan pengunjung ke negara mereka.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)