Pernahkah Anda mendapatkan pengalaman yang mungkin tidak Anda harapkan. Anda buru-buru ingin menghadiri rapat di suatu tempat, sementara posisi Anda msih di rumah dan jalanan macet. Anda aktifkan handphone dan membuka aplikasi penyedia jasa transportasi model sharing economy. Harapan Anda, begitu Anda menutup handphone tak sampai hitungan belasan menit kendaraan yang Anda pesan datang. Namun kenyataannya, Anda merasa terlalu lama menunggu.
Beberapa hari lalu, Brian Solis menulis kolom di blognya, yang salah satu sub-judulnya seperti yang saya gunakan di atas. Dia mulai dengan pertanyaan, apakah sharing economy itu benar ada bila tidak ada yang benar-benar mau berbagi? Menurut Brian Solis, ekonomi berbagi kini mulai larut dan segala sesuatu kini berubah menjadi on-demand. Ini memaksa para ekonom dan dunia usaha memahami pasar baru dan tenaga kerja baru yang membuat pasokan alternatif berdasarkan meningkatnya permintaan. Alternatif yang dimaksud adalah perusahaan on-demand dan ekosistem yang dibutuhkan adalah pekerja dan pelanggan perdagangan dengan reputasi plus kepercayaan dan manfaat.
Di luar Uber atau Airbnb , layanan kelas baru akan naik dan jatuh berdasarkan perilaku dan harapan baru. Solis menyebut gerakan ini sebagai "egoisme" ekonomi yang menghinggapi konsumen yang selalu mengharapkan dari setiap bisnis -- bahkan mereka yang tradisional sekalipun -- untuk melakukan bisnis di mana transparansi, kedekatan dan konteks pengendaliann tertinggi. Semuanya menjadi on-demand, termasuk layanan B2B.
On-Demand Ekonomi didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang diciptakan oleh perusahaan teknologi untuk memenuhi permintaan konsumen melalui penyediaan barang dan jasa secara langsung. Internet membuat keinginan manusia menjadi semakin mudah dipenuhi. Dengan kata lain, internet menawarkan kenyamanan. Kenyamanan di internet pada dasarnya dicapai dengan dua hal: kecepatan, dan kemudahan kognitif. Jika Anda mempelajari apakah hal-hal yang benar-benar besar di internet, Anda menyadari bahwa mereka adalah tuan yang telah membuat hal-hal secara cepat dan tidak membuat orang berpikir
Perilaku konsumen berubah. Orang kini bisa pesan barang atau jasa melalui pesan e-mail, sosial media, dan fungsi online lainnya melalui smartphone. Ini meningkatkan ekspektasi orang tentang hak untuk memperoleh pengalaman cepat, sederhana, dan efisien. Sebuah survei dari 250 pelanggan Whole Foods and Trader Joe’s yang dilakukan oleh The On-Demand Economy menyoroti bahwa "kenyamanan pengiriman" adalah penentu besar dalam keputusan konsumen untuk membeli bahan makanan online.
Hasil survey yang dipublikan Accenture Strategic Consulting menunjukkan bahwa konsumen “baru” di Asia mengharapkan pengalaman belanja yang menghemat waktu dan membuat hidup lebih mudah. Harapan ini berkembang di pasar baru yang dinamis yang menciptakan peluang besar bagi produsen produk dalam kemasan. Mereka harus bergerak sekarang untuk menangkap mereka. Bila tidak mereka akan dikontrol oleh para pemain di bisnis perdagangan digital yang memungkinkan pergerakan wilayah yang luas. .
Meskipun banyak juga perusahaan consumer product yang bertransformasi dan masuk ke digital, masih belum cukup bagi banyak konsumen. Penelitian Accenture menunjukkan bahwa konsumen tidak puas dengan pengalaman rute panjang perjalanan proses pembelian mereka. Mereka masih belum mendapatkan pengalaman unik yang menyenangkan dan memungkinkan pengambilan keputusan impuls, menerima produk yang direkomendasikan yang memenuhi keinginan segera mereka dan selalu terhubung dengan merek favorit mereka. Ini merupakan kesempatan yang luar biasa bagi perusahaan consumer goods tradisional untuk menangkap gelombang pertumbuhan berikutnya. Dengan berfokus pada penyediaan perdagangan digital yang kuat, mereka dapat menjembatani kesenjangan yang ada di perjalanan pembelian konsumen dan memberikan pengalaman belanja mulus seperti yang mereka cari.
Teknologi akan terus berkembang dan mempengaruhi cara konsumen berbelanja di masa depan. Dengan menggunakan teknologi digital yang lebih , perusahaan consumer goods dapat terlibat dengan konsumen secara real-time, yang memungkinkan perusahaan untuk memberikan nilai maksimum dalam waktu minimum. Pada gilirannya, ini menciptakan peluang bagi perusahaan consumer goods untuk mengontrol pengalaman beli konsumen di masa depan.
Intinya adalah produsen barang konsumen (consumer goods) atau penyedia jasa tradsional masih berpeluang untuk mengalahkan perusahaan baru berbasis aplikasi yang kini mulai menggerogoti pasar mereka dengan masuk ke model bisnis dengan menerapkan teknologi yang lebih baik. Mereka harus mempebri pengalaman lebih seperti lebih cepat, lebih nyaman, dan tepat. Bila tidak, mereka tentu akan menjadi pecundang kalau tidak mau dikatakan tunduk pada aturan main bisnis sharing economy yang mereka jalankan.