Penutupan 150 gerai kedai kopi asal Amerika Serikat, Starbucks, menyisahkan tanda tanya. Benarkah penutupan itu imbas dari badai distruption bisnis ? Benarkah kedai kopi itu kini telah jenuh? Benarkah penutupan itu dampak dari makin pedulinya konsumen pada kesehatan, dan sebagainya.
Banyak orang yang tahu bahwa Starbucks adalah perusahan innovative. Secara rutin, perusahaan ini menduduki peringkat atas di antara perusahaan paling inovatif di AS dan terus berusaha serta menemukan cara baru untuk mengejutkan dan menyenangkan pelanggannya.
Tiga tahun lalu, Starbucks meluncurkan model pemesanan dan opsi pembayaran seluler baru, konsep kedai kopi high-end baru, dan layanan pengiriman langganan kecil baru. Starbucks juga melakukan ekspansi ke minuman baru, mengakuisisi persuahaan di industri pelengkap, terus mengutak-atik pengalaman pelanggan, dan meluncurkan taruhan sisi di bidang yang sama sekali tidak terkait.
Terlepas persoalan “insiden” yang menimpa Starbucks belakangan, mulai dari isu toilet yang tiba-tiba ada kameranya, pengusiran dua orang kulit htam saat duduk di kursi dalam gerai Starbucks dan sebagainya, ada analisis yang menarik tentang penutupan itu. Pada Selasa (19/6/2018), saham mereka terjun 3,5 persen. Starbucks melansir, hingga Juni 2018, penjualan produk Frappucino telah melorot 3 persen. Padahal, pada 2017 silam, penjualannya meningkat 4 persen. "Performa bisnis kami tidak mencerminkan potensi terbaiknya. Ini sungguh tak wajar," ungkap Chief Executive Officer Starbucks Kevin Johnson.
Kalangan analis ritel melihat ada beberapa hal yang membuat penjualan Starbucks turun. Pertama, Starbucks terlampau banyak membuka toko. Sinyal ini dapat dibaca pada gerai yang bakal ditutup yang diprioritaskan pada wilayah dengan jumlah toko Starbucks yang sudah terlampau banyak. Gerai yang terlalu banyak di suatu tempat – buila konsumennya tidak bertambah atau tidak makin sering mengkonsumsi -- bisa menurunkan penjualan karena menjadi bersifat kanibal. "Kami meyakini (kelebihan unit) merupakan contoh baik kasus kelebihan kapasitas di industri ritel," ucap John Zolidis dari Quo Vadis Capital, seperti dilansir Reuters, Sabtu (3/2/2018).
Kedua, akibat aksi rasial oknum karyawannya, Starbucks menutup sementara 8.000 tokonya di Amerika Serikat pada akhir Mei lalu. Seluruh karyawan mendapatkan pelatihan akan pentingnya keberagaman. Bisa jadi konsumen kemudian mencari alternative lain. Ini menjadi peluang bagi restoran maupun kafe lain untuk menyalip dominasi Starbucks.
Jadi adakah skenario inovasi yang bisa mengakhiri dominasi Starbucks di pasar kedai kopi? Menurut aturan Disruptive Innovation Clayton Christensen, untuk bisa mengalahkan Starbucks, perusahaan teoritis ini harus menawarkan produk kopi yang lebih murah dan lebih rendah daripada produk kopi Starbucks, serta menarik segmen pasar peminum kopi yang tidak menarik ke Starbucks, yaitu orang yang tidak bisa atau tidak mau membeli minuman kopi seharga Rp 45 ribu.
Untuk menghentikan dominasi Starbucks sangat berat. Saat itu. Sebab bagaimana pun yang bisa menghentikan dominasi Starbucks – seperti yang ada dalam skenario disruption -- adalah warung kopi kecil yang baru berdiri dan muncul entah dari mana yang mengkombinasikan kopi superior, pengalaman pelanggan yang lebih baik, item menu baru, dan ada di mana-mana.
Salah satu pemula yang mulai menarik perhatian saat itu adalah Caffe Bene, yang dicitrakan sebagai "Starbucks dari Korea Selatan." Rantai kedai kopi yang memiliki lebih dari 1.600 lokasi secara global, sempat berencana membuka gerainya secara besar-besaran di seluruh Amerika Serikat, mulai di New York City. Namun, Starbucks yang memiliki lebih dari 21.000 toko di seluruh dunia, lebih dari 70 juta pelanggan per minggu, lebih dari 9 juta anggota program loyalitas – berat untuk dilawan.
Januari lalu, kantor berita Korea membertiakan bahwa Caffe...