Disarankan Troy, kemampuan penyediaan konten dalam merespon situasi krisis AirAsia nampaknya harus segera dilakukan langkah pembenahan. Jangan sampai, krisis itu sendiri berkembang menjadi krisis komunikasi, akibat tidak terpuaskannya konten informasi yang sangat diharapkan diperoleh dari pihak perusahaan kepada keluarga yang terkena imbas musibah serta awak media yang keduanya "memelototi" situasi terkini selama 24 jam penuh.
Dinilai Troy, response dalam pengelolaan konten dalam situasi krisis, paling tidak diawali dengan informasi yang bersifat normatif dan instruktif terlebih dahulu, seperti halnya krisis AirAsia di awal-awal peristiwa. “Walaupun di sini, peran Basarnas dan pemerintah jauh lebih menonjol daripada operator penerbangan yang pada awalnya terkesan tidak terbuka,” urainya.
Selanjutnya adalah penyesuaian informasi yang sebetulnya berurusan dengan respons organisasi atau perusahaan untuk turut membantu pihak korban atau keluarga korban. Terutama, untuk mampu menghadapi kondisi tekanan psikologis akibat krisis atau musibah yang sedang terjadi. “Di sinilah peran menonjol secara sentuhan kemanusiaan dan 'personal touch' harus secara baik dijalankan oleh AirAsia. Sebab, bicara soal tekanan psikologis, maka unsur emosi, perasaan, harapan, perilaku spontan yang keluar akan terekspos dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlu pengelolaan konten informasi secara baik oleh AirAsia,” anjur Troy.
Pada pengelolaan konten informasi, maka unsur penceritaan konten mengenai kelangsungan bisnis atau business continuity planning harus dimasukkan. Lantaran, menyangkut tingkat kepercayaan atau "trust" publik paska kejadian, yang berpotensi menimbulkan tanda tanya besar bagi publik.
“Mengingat dalam kasus AirAsia mulai dilakukan investigasi dan penindakan tegas atas personal terkait pemberi ijin serta pembekuan jalur penerbangan tertentu, sangatlah wajar bila pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari awak media menyangkut tanggung jawab material, psikologi, maupun rencana kerja ke depan. Untuk itu, tim PR AirAsia harus dapat mengelola komunikasi krisis dengan konten yang memadai dan memuaskan, sehingga tidak menimbulkan krisis yang baru,” katanya.
Menurut Troy, pemberian informasi dengan edaran, alias rilis, dalam situasi "super-krisis" akan kurang memadai. Diperlukan keahlian dalam berkomunikasi secara langsung dan intens dengan para pemangku kepentingan utama, termasuk awak media yang akan menjadi garda depan reputasi Air Asia.
“Tentunya, bukan hal yang mudah dalam mengelola krisis AirAsia. Sekali lagi, bagi profesi kehumasan serta manajemen organisasi, diperlukan latihan yang terus-menerus dalam bentuk studi kasus sebenarnya yang didampingi oleh para pembimbing yang sudah berpengalaman. Selain itu, jam terbang dalam mengelola krisis sangat diperlukan. Bahkan, attitude dan behavior yang tepat dari tim humas dan manajemen berperan besar di dalamnya,” ucapnya.
Demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan berkembang secara liar dan tidak terkendali ketika terjadi krisis, diyakini Troy, maka bantuan dari profesional yang kompeten—baik secara tetap maupun ad-hoc—akan sangat dibutuhkan.