Industri pariwisata Indonesia memiliki peluang besar untuk tumbuh di masa depan dengan meningkatnya minat konsumen Indonesia untuk berwisata, dan makin menariknya Indonesia bagi wisatawan asing. Berdasarkan Nielsen Global Consumer Survey Q1 2013, setelah menabung (74 persen), 37 persen responden memilih berlibur sebagai prioritas kedua pengeluaran mereka.
Sementara, survei terpisah yang dilakukan oleh McKinsey & Company mengungkapkan optimisme serupa mengenai tren traveling di Tanah Air. Pada tahun 2030, pengeluaran tahunan responden untuk traveling diprediksi akan mencapai angka USD 105 milyar, melesat dari USD 26 milyar di tahun 2011.
Tumbuhnya populasi kelas menengah dan meningkatnya pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadi pemicu atas bergesernya pola konsumsi dari barang-barang kebutuhan pokok ke gaya hidup. Karena itu, konsumen Indonesia pun kini menjadi semakin loyal dalam ‘berbelanja’ pengalaman dan hal ini membuat popularitas berwisata kian meroket.
Di sisi lain, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Visa, krisis global membuat Indonesia menjadi destinasi yang menarik karena dianggap lebih terjangkau. Meskipun sangat peka harga, para wisatawan asing tidak segan-segan memilih hotel berbintang empat ke atas, dan membelanjakan 30% budget-nya untuk berbelanja, dan 25% untuk makan di tempat yang berkelas.
“Para pelaku wisatawan Indonesia harus mampu menangkap kesempatan ini dan membangun industri pariwisata secara strategis. Kompetensi komunikasi pemasaran digital wajib dibangun untuk bisa menang bersaing saat ini. Mengingat negara-negara tetangga sangat agresif menjual destinasinya," tegas Managing Director Fortune PR Indira Abidin saat menjadi pembicara dalam Indonesia E-Tourism Summit (IETS) 2013 di Bali, 4-6 September 2013.
Menurutnya, strategi merek (brand) dari sebuah usaha pariwisata perlu dibangun dengan baik, agar merek tersebut dapat mudah diingat, dipilih, dan dicintai oleh wisatawan. Pembangunan merek ini juga harus didukung dengan kemampuan mengomunikasikan merek tersebut secara luas kepada target pasar yang dituju, salah satunya lewat kanal digital, antara lain melalui website, mobile, tablet, dan jaringan social media.
"Sebanyak 65% wisatawan mencari ide berwisata melalui pencarian social; 52% pengguna Facebook sangat dipengaruhi oleh foto-foto teman-teman dalam jaringan Facebook-nya untuk menentukan tempat wisata; 33% wisatawan mengubah rencana awal mereka setelah melihat foto-foto tersebut. Jadi, kita harus mampu membangun reputasi di social media platform, menarik hati mereka agar mereka menggunakan layanan atau datang ke destinasi yang kita miliki, dan kemudian menceritakan kisah-kisah menarik melalui foto atau video di dunia virtual," jelas Indira.
Garda terdepan dalam dunia pariwisata kini adalah website. Indira mengungkapkan, para pemilik usaha wisata harus tampil menarik dan unik melalui website sebagai wajah usaha di dunia virtual. Website kemudian harus dipromosikan melalui strategi optimasi mesin pencari, pemasaran melalui email, dan social media yang terintegrasi dengan baik.
Selain itu, lanjut Indira, hubungan dengan tamu yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal di social media. “Semua pemilik usaha wisata harus memiliki kebijakan komunikasi melalui media sosial untuk mendorong seluruh karyawan menjadi duta bagi perusahaannya, dan mencegah mereka melakukan hal yang dapat merugikan merek usahanya di dunia virtual," kata Indira.