JAM 6 TENG: BERHENTI

Dan justru karena itu, kisahnya menjadi pelajaran: grit perlu disandingkan dengan kebijaksanaan.

Kenapa? Ada sisi lain dari kenyataan. Tidak semua yang bertahan akan menang. Bertahan dalam sesuatu yang salah bisa jadi membawa kehancuran. Seperti seseorang yang terus mengejar mimpi menjadi penyanyi meski tak punya nada dasar, atau yang mengorbankan segalanya untuk ambisi yang tidak realistis.

Di saat-saat seperti itu, quit bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan.

Lindsey Vonn beberapa kali jatuh. Namun, dia justru terkenal karena bangkit dari luka yang paling mengerikan. Diseret turun dari gunung bersalju, menjalani operasi demi operasi, absen dari Olimpiade, dan tetap kembali untuk menang. Tapi ketika tubuhnya berkata cukup, ia mendengarkan.

Dengan nada getir namun penuh kejujuran, Lindsey menulis: “Tubuhku rusak... … dan sekarang aku harus mendengarnya.” Ia berhenti. Ia mengakui bahwa babak itu telah usai.

Tapi seperti banyak dari kita, ia masih merasa perlu menyamarkannya: _“Aku tidak menyerah… aku memulai babak baru.”_

Jika seseorang sekelas Lindsey Vonn saja masih merasa perlu menyamarkan kata "berhenti", bayangkan betapa beratnya bagi kita, manusia biasa, untuk mengucapkannya. Kita tidak hanya takut akan kegagalan. Kita takut akan stigma. Takut akan label. Takut disebut pecundang.

Lalu terciptalah bahasa-bahasa halus untuk menutupinya: _pivot, move on, start fresh, chapter baru, rebranding,_ bahkan _redeployment strategis_. Bila jujur: semua itu hanyalah kata lain dari *“berhenti.”*

Bahasa telah memihak. Kita menciptakan ribuan istilah untuk menggambarkan ketekunan: gigih, tangguh, ulet, berani, pantang menyerah. Tapi untuk “menyerah,” tidak ada padanan yang terdengar indah. Ia seperti kata terlarang. _Voldemort_ atau tabu dalam dunia motivasi. Maka dibungkuslah semua itu dalam eufemisme, agar tidak menyakitkan saat ditelan.

Mungkin itu bukan sekadar upaya menjaga citra. Mungkin itu cara kita semua merangkul konsep quit tanpa merasa kalah. Karena berhenti pun perlu keberanian. Kadang lebih berat dari bertahan.

Butuh kedewasaan untuk berkata, _“Ini sudah cukup.”_ Butuh ketenangan batin untuk melepaskan gelar, lampu sorot, dan semua pengakuan yang pernah membuat kita merasa hidup.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)