Era Advertising yang interuptif berangsur berakhir, salah satunya karena posisi tawar audience dalam transaksi informasi semakin tinggi. Demokratisasi informasi menyebabkan audience memiliki hak lebih untuk menyaring atau menolak informasi, sekaligus menuntut bahwa informasi yang datang kepada mereka adalah informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks audience. Ada yang menyebut era ini secara provokatif sebagai post advertising era. Tapi Janoe Arijanto, CEO Dentsu Strat, menyebutnya sebagai peristiwa transformasi bisnis biasa atau lebih tepatnya, proses redefinisi advertising. Bagaimana advertiser harus memahami fenomena perubahan besar dalam proses branding di era disrupsi ini? Berikut wawancara Tim MIX lengkap dengan Janoe Arijanto.
Ini adalah lompatan besar dari branding tradisional ke branding di era baru. Tolong tunjukkan perubahan lansekap branding di era baru ini?
Hampir seluruh perubahan besar yang terjadi di proses branding dipengaruhi oleh perubahan teknologi informasi, yang menyebabkan publik bisa berpartisipasi lebih dalam proses branding.
Proses branding diposisikan sama secara sosial dengan dengan proses pengiriman informasi non komersial. Wajar jika proses penyampaian pesan komersial dituntut untuk seamless, genuine dan menyatu kuat dalam konteks sosial ketika pesan itu diterima oleh audience.
Branding adalah sebuah proses, ketika branding diterapkan di landsekap konsumen yang sedang berubah, maka proses itu harus menyesuaikan diri, meninggalkan cara-cara lama dan menerapkan cara baru untuk merespon kenyataan baru. Beberapa point perubahan penting dalam proses branding tradisional ke branding kontemporer adalah sebagai berikut.
Pertama, berubahnya pengertian konsumen dari khalayak pasif ke khalayak aktif. Konsumen memiliki kemungkinan merespon dinamika brand secara langsung bahkan mempengaruhi bagaimana brand itu dikembangkan. Proses branding bahkan tidak mencari dan menggali insight, tapi mendapatkan kiriman dan limpahan insight yang harus direspon secara langsung dan berbeda-beda. Salah satu kunci utama dari kenyataan ini adalah bahwa brand tidak hanya bertugas memperluas konsumen, tapi mencari konsumen sebagai partner aktif yang akan menjadi pendukung brand secara organik. Wajar jika termaudience ditransformasikan lebih kuat oleh beberapa brand menjadi community.
Kedua, polarisasi sosial dan crowd culture memaksa pudarnya titik-titik pusat produksi informasi. Kekuasaan informasi bukan hanya dipegang oleh brand-brand besar, rezim politik pemilik media atau para perancang agenda sosial, tapi oleh publik yang terus menerus memroduksi pesan. Di lansekap seperti ini, brand tidak bisa memaksakan diri untuk menjadi pusat terus-menerus. Brand musti melakukan kolaborasi dengan publik, merespon arus informasinya dan mendesain interaksinya berdasarkan model yang telah berjalan.
Ketiga, perancangan pesan menjadi perancangan conversation. Model komunikasi ini berlangsung lebih karena kondisi bahwa sudah tidak dimungkinkan lagi mengirim pesan satu arah dan mengontrol arusnya secara teratur. Brand tidak bisa lagi mendesain flow yang kaku ketika conversation telah dikirim, karena produksi pesan dan sharing hampir sepenuhnya dikendalikan oleh publik.
Keempat, brand harus mengubah model kampanye dari sekadar mengirim pesan dan berbicara ke arah ajakan untuk bergerak, berpartisipasi merasakan pengalaman langsung. Di sinilah fungsi user experience design, tidak sekadar diartikan sebagai antar muka sebuah platform digital, tapi melebar kepada pengamalan langsung yang juga didesain dalam interaksi off line.
Kelima, model komunikasi bertransformasi ke arah yang genuine, seamless, non-interruptive dan menonjolkan otentitas. Cara penulisan dan visualisasi ini dipengaruhi secara kuat oleh crowd culture, yang mendisain cara bertutur yang casual, langsung dan apa adanya. Brand mengadopsi phenomena itu dengan istilah contentmarketing, native ad atau context based messaging, segala proses komunikasi yang tidak memaksa konsumen untuk memperhatikan sebuah pesan iklan.
Keenam, perancangan touch point, perancangan media berubah menjadi perancangan engagement dan interactivity. Pola media planning tradisional cenderung berorientasi memasang titik-titik media komunikasi satu arah, sedangkan pola baru menuntut perancangan desain interaksi, siklus sharing dan perancangan conversation secara terus menerus.
Ketujuh, orientasi komunikasi bukan sekadar berujung pada transaksi,...