Membangun brand experience sekaligus brand engagement tak hanya dapat dilakukan pemasar melalui on-ground activity atau aktivasi merek di lapangan. Di era digital seperti sekarang, hal itu juga dapat dilakukan pemasar lewat online activity. Mengingat, di tengah derasnya berbagai pesan dan konten kreatif di media digital, saat ini konsumen pun menjadi selektif. Pemasar yang mampu menghadirkan pengalaman yang bermakna bagi konsumen, maka mereka-lah yang mampu memenangkan hati pengguna online (online user).
Diungkapkan Uki Utama, Chief Enabling Officer @RIGHT HAND, untuk menjawab pergeseran perilaku konsumen itu, maka konten di media online maupun offline menjadi kuncinya. Ya, content is the king. Adalah Konten Kreasi Konsumen (K3), merupakan istilah baru yang dapat menjawab pergeseran perilaku itu.
“K3 adalah konten dalam bentuk seperti video, audio, gambar digital, blog, wiki, cerita, forum diskusi, posting, chat, tweets, podcasting, pin, iklan, dan dalam bentuk media apapun yang diciptakan oleh konsumen lewat media O2O (online ke offline), maupun sebaliknya, baik dengan sistem atau manual yang tersedia melalui media apapun,” jelas Uki.
K3 lahir karena saat ini suara konsumen mengalami peningkatan hingga menjadi sumber konten yang paling berpengaruh dan terpercaya bagi shoppers. Hal itu, menurut Uki, adalah bentuk lanjutan dari umpan balik dan inovasi. “Hasilnya, K3 sudah berkembang dan meluas ke bentuk konten yang bervariasi, seperti photo, video, pertanyaan, chat, dan masih banyak lagi. Bahkan, perkembanganya melebihi marketing WOM (word of mouth). Bahkan, K3 bertransformasi menjadi komunikasi yang berpengaruh, terpercaya, dan penting antara konsumen dan pemangku usaha, pasar, dan merek,” yakinnya.
Dalam empat tahun mendatang, Uki menilai, ada dua hal yang akan mempengaruhi pasar. Pertama, Konten Kreasi Konsumen (K3) yang lebih maju dan lebih terdepan. Kedua, Kreasi bersama (Co-creation), baik co-branding ataupun co-innovation.
Dijelaskan Uki, tren K3 tak lepas dari mulai menurunnya tingkat kepercayaan konsumen terhadap iklan tradisional. Dengan demikian, mereka secara otomatis akan berpaling ke konten yang dibuat oleh teman atau rekan terdekat yang mempengaruhi keputusan membeli, terlepas dari jenis produk dan barang apapun.
“Oleh karena itu, merek dan retail perlu melakukan diferensiasi dengan menawarkan semua jenis konten yang cocok untuk target tertentu, baik konsumen yang membeli karena rasional maupun emosional. Pemasar juga harus mempertimbangkan perilaku konsumen yang memilih menolak iklan yang tradisional serta dibuat secara massal dan terus berulang,” Uki mengingkatkan.
Sejatinya, menurut Uki, permintaan akan konten personal sudah dipraktikkan dengan baik di industri fashion. Fashion High Street sudah lebih awal dalam inovasi, dan sekarang sudah mulai menyebar ke semua industri fashion. Sebagai timbal baliknya, retail akan punya konten dalam jumlah besar yang sesuai dengan keinginan konsumen.
Pada akhirnya, lanjut Uki, kesadaran konsumen akan nilai dari data pribadinya akan menjadi mata uang baru. “Itu artinya konsumen hanya akan membagi data pribadi mereka apabila mereka mendapatkan imbalan. Fenomena ini akan memaksa merek untuk lebih mengenal konsumen melebihi yang sekarang dikenal sebagai demografi. Untuk tetap menjadi relevan, merek dan retailer harus mendapatkan insight profile konsumen yang lebih dalam. mulai dari interaksi sosial, kesukaan, kebiasaan, bahkan interaksi antara konsumen dan pilihan favoritnya,” terangnya.
Ia mencontohkan, ada sejumlah merek yang telah serius dan berhasil dalam mengkolaborasikan antara merek, retailer, dan fans merek. Antara lain, HSBC lewat kampanye HSBC #iCelebrateStyle serta Coca-Cola lewat kampanye Share a Coke.