Awal November ini, warganet dihebohkan dengan kampanye Burger King. Tidak seperti kampanye biasanya, dimana brand selalu mengajak konsumen membeli produknya, kali ini Burger King justru memilih kampanye simpatik.
Pada postingan di akun Instagram resminya, @burgerking.id, Burger King mengajak masyarakat untuk membeli juga produk kompetitor. Bahkan, judul besar postingan tersebut menonjolkan brand kompetitor yang selama ini menjadi pesaing terberatnya, McDonald's. "Pesanlah dari McDonald's", demikian judul kampanye Burger King.
Kampanye ini tenyata juga dilakukan di global, salah satunya oleh Burger King UK (United Kingdom) di Inggris, pada 2 November 2020. Dalam kurun waktu 22 jam sejak postingan tersebut diunggah, konten tersebut berhasil disukai oleh lebih dari 233 ribu pengikut dan meraih lebih dari 9.200 komentar.
Setelah Burger King sukses menyentuh hati warganet dengan kampanye simpatiknya, Gokana menggelar kampanye serupa atau me too campaign. Pada 4 November 2020, akun resmi @gokanaresto memposting ajakan untuk membeli makanan dari gerai resto lainnya.
Postingan ini juga tak kalah menyedot perhatian warganet. Ratusan komentar terlihat ramai di akun instagram Gokana. Selama dua hari, postingan tersebut mendapatkan lebih dari 5.500 love dari follower dan lebih dari 380 komentar.
Sayangnya, warganet justru tak tersentuh dengan kampanye tersebut. Lantaran, semua restoran yang disebut di postingan ternyata masih satu grup dengan Gokana. Buntutnya, warganet membandingkan-bandingkan kampanye Burger King dan Gokana.
Dinilai Andin Rahmana, Praktisi dan Pengajar Digital Marketing dan Co-founder CikalBakal Creative Digital Agency, dalam situasi sulit seperti ini, sebagai salah satu sektor yang paling terpukul, Burger King UK merilis kampanye yang menyentuh.
"Kampanye ini mengangkat nilai-nilai solidaritas (solidarity) dan ketulusan (sincerity). Agak berbeda dengan kebiasaan Burger King US pada umumnya yang cenderung mengejek (mocking) kompetitornya atau mengagung-agungkan produknya sendiri, kali ini Burger King UK secara personal merangkul para kompetitor untuk melewati keadaan ini bersama-sama," paparnya.
Terlebih saat diadaptasi menjadi versi lokal di Burger King Indonesia, lanjut Andin, mereka mengangkat brand lokal dan kearifan lokal seperti warteg, sehingga kampanye ini menjadi sangat relevan. "Berbagai value inilah yang mendapatkan respect dari netizen dan akhirnya viral," yakinnya.
Kampanye dari Burger King UK, menurutnya, berhasil memberikan kesan yang manis meskipun pada akhirnya objektifnya adalah menciptakan percakapan sebanyak-banyaknya (generate buzz atau conversation). Burger King UK mencoba menyatukan permusuhan dengan memberikan musuh yang sama berupa Covid-19 dan membawa good value, sehingga dianggap sebagai good brand.
"Konten yang ditampilkan pun memenuhi syarat konten yang menyebar dengan cepat, yaitu STEPPS dari Jonah Berger dalam buku Contagious," ungkapnya.
Konten ini memiliki social currency sehingga mendorong para pembacanya untuk mau membagikan ke jejaringnya (dianggap mengerti marketing), melibatkan emosi pemirsanya yang juga sedang menghadapi situasi ini bersama-sama, mengangkat isu yang diterima publik, dapat dilakukan secara langsung (practical values) dan dikemas dalam bentuk cerita yang sangat apik dan personal. "Burger King UK dan Indonesia sama-sama mendapatkan earned media dengan biaya yang nol rupiah, namun mendapatkan jangkauan yang sangat luas," papar Andin.
Diakuinya, kampanye ini bukanlah hal yang baru, namun sangat relevan dengan situasi sekarang, sehingga direspon dengan sangat baik oleh masyarakat. "Salah satu provider di Indonesia juga pernah melakukan hal serupa beberapa tahun lalu dan mendapatkan respon yang juga positif," ia menerangkan.
ME TOO CAMPAIGN
Sayangnya, Gokana sebagai resto lokal yang berusaha ingin melakukan trendjacking hanya mengikuti formatnya, namun kehilangan konteks solidaritas dan ketulusan yang diangkat Burger King UK. "Dengan demikian, masyarakat yang tadinya simpatik dengan kampanye semacam ini, justru malah antipati karena kontennya dianggap meniru sehingga tidak kreatif. Bahkan, semua brand yang disebutkan dalam kampanye Gokana masih ada dalam satu grup," ucapnya.
Sebenarnya, kampanye Me Too tidak salah, meskipun juga bukan berarti pilihan yang terbaik. Sayangnya, Gokana melakukan adaptasi campaign dengan menghilangkan konteks value aslinya, yaitu solidarity dan sincerity.
"Campaign Burger King UK yang tampak seperti pahlawan dengan mendahulukan kepentingan bersama, membuat Gokana tampak sebaliknya, hanya menguntungkan grup sendiri. Hal ini justru memberikan backfire kepada Gokana, yang dapat dilihat dari sentimen negatif feedback dan respon yang disampaikan," urai Andin.
Sementara itu, ditegaskan Andin, dalam bisnis maupun dalam kampanye digital, yang akan mendapatkan panggung atau spotlight lebih besar hanyalah tiga hal, yakni yang pertama (first), yang terbaik (best), dan yang berbeda (different). Artinya, bila brand melakukan kampanye me too, maka setidaknya harus dibuat lebih baik atau berbeda dari versi aslinya.
"Dalam kasus Gokana, kampanye ini tidak lebih baik, justru kehilangan konteksnya. Berbeda pun lebih ke arah negatif, bukan positif. Agar lebih baik hasilnya, Gokana dapat mengikuti valuenya, namun bisa berkreasi dengan format yang lain atau treatment yang lain," ia menyarankan.
Sesuai laporan Kantar Covid-19, What Do Consumers Expect From Brands, masyarakat berekspektasi brand untuk bisa memberikan real value, menyampaikan real value dengan cara yang etis, bertindak secara bertanggung jawab, dan melakukan hal-hal yang baik kepada komunitasnya termasuk karyawan mereka. "Gokana ataupun resto lokal lainnya bisa mengikuti format ini, dengan kreasi yang lebih original dan bisa mencuri panggung dengan campaign yang lebih menarik," tutup Andin