MEREKRONSTRUKSI PERSEPSI CANTIK

Karena itu, tidak heran jika saat ini banyak produsen kecantikan yang lebih menampilkan figur-figur yang tengah naik daun, isu sosial, ataupun ide-ide yang kreatif. “Klaim subjektif seperti kata-kata “semua yang Anda butuhkan untuk semua kepercayaan diri” dan “membuat kulit terlihat lebih hidup”, kurang efektif,” tutur Dr Cecil P Staton dari Valdosta State University, seperti dilansir Dailymail.co.uk.

Tak hanya model yang tengah naik daun, kampanye kecantikan juga menampilkan isu sosial di masyarakat. Hal ini sudah dilakukan The Body Shop melalui “Love Your Body Campaign” sejak 1997 yang mengajak pelanggannya untuk tidak terlalu peduli dengan tekanan dari masyarakat mengenai persepsi kecantikan seorang wanita.

Kampanye itu divisualkan melalui poster dan reklame yang menampilkan sebuah boneka bernama Ruby yang secantik Barbie namun bertubuh gemuk. Bersama foto itu ditampilkan kata-kata inspiratif tentang rasa percaya diri dan fakta tubuh wanita.

Tak hanya The Body Shop, kampanye mengenai persepsi kecantikan seorang wanita juga dilakukan Dove melalui kampanye Choose Beautiful sejak 2013. Kampanye tersebut didokumentasikan melalui sebuah film pendek yang merekam reaksi wanita ketika dihadapkan pada dua pilihan pintu, yaitu average (biasa saja) atau beautiful (cantik).

“Kampanye Choose Beautiful menjadi salah satu bagian komitmen Dove untuk terus menyadarkan dan mengingatkan kembali bahwa merasa cantik merupakan awal untuk memancarkan rasa percaya diri dan kebahagiaan bagi perempuan Indonesia,” ujar Eva Arisuci Rudjito, Marketing Director Skin Cleasing and Body CarePT Unilever Indonesia Tbk, ketika itu.

Jauh sebelum itu, pada 2004 Dove melakukan riset global yang menekankan pada isu universal: meningkatnya tekanan dari masyarakat mengenai persepsi kecantikan seorang wanita, dan menurunnya kepercayaan diri wanita seiringnya pertambahan usia.

Riset berjudul “The Real Truth Abouth Beauty: Revisited” itu menemukan beberapa hal penting. Antara lain, hanya 4% wanita di seluruh dunia yang menganggap diri mereka cantik (meningkat dari 2% pada tahun 2004), hanya 11% wanita yang merasa nyaman menyatakan diri mereka 'cantik' dan 72% wanita merasakan adanya tekanan besar untuk menjadi cantik.

Sekitar 80% wanita setuju bahwa setiap wanita punya sesuatu yang membuatnya cantik, tapi tidak melihat kecantikan mereka sebenarnya. Lebih dari setengah wanita secara global (54%) setuju bahwa ketika menyangkut penampilan, diri mereka sendirilah yang menjadi kritikus terbesarnya.

Tahun lalu, seperti dilansir dari HuffingtonPost.com, Dove juga mensurvei 6.400 wanita berusia 18-64 tahun di 20 negara tentang bagaimana mereka melihat kecantikan. Sebanyak 96 % wanita tak melihat bahwa diri mereka cantik tapi sebanyak 80% percaya bahwa tiap wanita punya sesuatu yang cantik di dalam dirinya. *

Irvan Permana, Head of Unit at Pathfinders:
Masih Diperlukan Edukasi

Untuk urusan kecantikan, perubahan mindset wanita di Indonesia menjadi penting, dari zaman Kartini ke zaman Dian Sastro sampai ke zaman Tara Basro. Cara pandang wanita Indonesia sudah berubah yang tentunya akan berakibat pada perubahan arti kata cantik itu sendiri. Dari dulu hal seperti ini memang sudah ada.

Brand yang benar adalah yang bisa menyesuaikan diri dengan culture di mana mereka berada. Tapi dengan perubahan zaman dan pekembangan konsumen yang menjadi lebih pintar, brand harus menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Peran emotional value tetap ada, hanya berubah bentuknya dari yang sifatnya hadir secara nyata (putih) ke yang unseen (kepribadian).

Di beberap area dan segmen A, perubahan kampanye dari functional value ke emotional value mungkin lebih mudah. Namun di segmen menengah, hal ini masih harus dibantu dengan tampilan visual yang mendukung image tersebut, dan diyakinkan bahwa hal itu merupakan tren terbaru.

Tapi pada intinya, emotional value bisa bermain dan memiliki peran besar untuk perubahan di industri kecantikan. Dalam perkara ini, di Indonesia sekarang masih tahap transformasi sehingga tidak bisa dipungkiri jika masih diperlukan edukasi, terutama untuk segmen menengah ke bawah.

Untuk masuk ke konsep emotional campaign, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah segmentasi, behaviour dan culture market yang akan dituju. Konsep boleh saja sama, namun eksekusi per area harus memperhatikan kecocokannya.

Do & don't Emotional Values Marketing:
1. Emotional Values harus melihat kesiapan target marketnya
2. Eksekusi harus menyesuaikan dengan kondisi kultur di area target market berada
3. Peranan komunikasi below the line diperlukan agar penyampaian pesan dan edukasi lebih jelas sehingga tidak disalahartikan
4. kembali ke esensi brand, apakah sesuai dengan values dari brand-nya
5. Perlu proses yang terintegrasi dan konsisten agar target market mengerti dengan pesan yang mau disampaikan
6. Jangan sekadar ikut tren atau ikut-ikutan kompetitor. Stay true to your brand and believe what your brand stands for.* (bin)

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)