Dibutuhkan Integrated Service Recovery pada Krisis Lion Air

Dinilai Istijanto Oei, Dosen Prasetiya Mulya Business School, yang perlu dipahami lebih dulu dari kasus delay Lion Air adalah bahwa kegagalan layanan (service failure) merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap perusahaan, bahkan yang memiliki standard kualitas terbaik sekalipun.

“Kegagalan layanan berpeluang terjadi dan itu tidak hanya dialami perusahaan lokal seperti Lion Air, namun juga perusahaan bereputasi internasional terbaik sekalipun. Untuk itu, bagi perusahaan ada dua pilihan. Pertama, menyiapkan prosedur untuk meminimalkan peluang terjadinya kegagalan layanan. Kedua, sudah memiliki prosedur (SOP) yang jelas untuk memulihkan layanan (service recovery) yang gagal,” papar Istijanto.

Ditambahkan Istijanto, jika diamati tampak bahwa poin satu dan dua tidak terpenuhi untuk kasus Lion Air. Seperti diberitakan di sebuah harian nasional, kasus Lion Air dikarena banyak faktor, seperti overbooking atau penjualan tiket melampaui kapasitas, plus ada tiga pesawat rusak. Itu semua menyangkut poin satu. Sedangkan pada poin dua, menunjukkan perusahaan tidak memiliki sistem service recovery yang terintegrasi, sehingga pelanggan yang sudah kecewa justru kekecewaannya makin bertambah karena sistem recovery-nya yang tidak terintegrasi.

“Perlu dipahami pada saat terjadi kegagalan layanan, harapan pelanggan bergeser ke pemulihan (recovery) yang dilakukan perusahaan sebagai tanggungjawabnya. Jadi, kalau pemulihan layanannya kacau, maka pelanggan bertambah kecewa, tidak puas, marah, dan sejenisnya,” tambah Istijanto.

Oleh karena itu, untuk memulihkan layanan, ada tiga tindakan utama untuk meredamnya. Pertama, permintaan maaf dan penjelasan. Kedua, bantuan untuk solusi pemecahan masalah. Ketiga, kompensasi (Watson, 2012).

“Kalau diamati pada kasus di atas, banyak poin yang tidak terpenuhi. Penjelasan terhadap mengapa terjadi pembatalan penerbangan tidak dijelaskan. Semakin tidak diinfokan atau dijelaskan masalah kegagalan layanan, maka pelanggan semakin tidak puas,” yakinnya.

Berikutnya, solusi yang ditawarkan juga kurang mengena, bahkan terjadi kesimpangsiuran solusi. Terakhir, kompensasi yang diberikan juga tidak segera dan bahkan terlambat serta ditalangi lebih dulu oleh pihak lain, yaitu Angkasa Pura II. “Dari kasus ini, pembelajaran yang dipetik bahwa perusahaan-perusahaan perlu menyiapkan SOP sistem pemulihan layanan yang matang,” anjurnya.

Lantas, apa penyebab tidak tersampaikannya kebijakan pusat ke seluruh cabang Lion Air? Dinilai Istijanto, hal itu menyangkut sistem pemulihan layanan yang tidak terintegrasi atau belum adanya SOP yang jelas. Akibatnya, tiap bagian berusaha melakukan pemulihan layanan yang terpisah.

“Jadinya, seperti saling melempar solusi dari bagian satu ke bagian yang lain. Atau bagian yang lain yang ditugaskan melakukan pemulihan yang dilakukan dari bagian lain. Sekali lagi sistem integrated service recovery dan blueprint (SOP) untuk service recovery harus sudah ada,” tegas Istijanto.

Oleh karena itu, begitu perusahaan mengalami kegagalan layanan, perusahaan mau tidak mau harus berkorban (mengeluarkan biaya) untuk memulihkan layanan tersebut. Jika pemulihan ini tertunda maka efek yang diakibatkan menjadi semakin buruk seperti reputasi.

“Perusahaan sebaiknya sudah mencadangkan sekian persen penghasilan untuk manajemen pemulihan layanan. Ini berguna untuk merespon kegagalan layanan dengan segera,” tandasnya.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)