Untuk itu, sebaiknya Lion Air dan perusahaan layanan lainnya, jika mengalami kegagalan segera melakukan komunikasi dengan pelanggan. Komunikasi pun dapat lebih intensif tidak hanya mengirim SMS yang hanya satu arah dan belum tentu dibaca konsumen.
“Lakukan komunikasi yang interaktif, yaitu melakukan percakapan melalui telepon, sehingga tiap penumpang dapat diberikan solusi yang sesuai. Tiap penumpang perlu ditelepon langsung. Misalnya penumpang yang butuh tepat waktu bisa digantikan ke maskapai yang berangkat tercepat. Jadi, solusi recovery nya pun harus disesuaikan dengan masing-masing kebutuhan penumpang,” saran Istijanto.
Sejatinya, jika perusahaan melakukan recovery dengan sangat baik, hasil penelitian menunjukkan kemungkinan terjadinya service recovery paradox, yaitu kepuasan pelanggan justru semakin lebih tinggi dibanding sebelum terjadi kegagalan. “Tetapi, tentu saja hal itu membutuhkan manajemen service recovery yang di luar harapan pelanggan, alias sistem recovery yang super bagus,” ia menekankan.
Menurut Istijantoe, ada beberapa efek terburuk jika Lion Air tidak mampu melakukan service recovery. Pertama, dari segi beban operasional yang meningkat, yaitu kompensasi yang harus dibayar sesuai dengan peraturan Menteri Perhubungan seperti No. 25 Tahun 2008 menyangkut pemberian kompensasi Rp 300.000. Efek terburuk lainnya adalah pencabutan ijin penerbangan. Ketiga, pindahnya pelanggan yang mengedepankan ketepatan waktu keberangkatan. Sebaliknya, untuk penumpang bujet dan tidak “memburu” waktu, kemungkinan besar tetap masih memakai.
“Saya perkirakan efek pelanggan yang pindah untuk kasus ini berkisar 30%. Namun demikian, Lion Air tetap harus memperbaiki sistem manajemen service recovery yang terintegrasi. Sekali lagi, kasus ini harus dipandang sebagai pembelajaran juga bagi perusahaan-perusahaan lain untuk menyiapkan atau memperbaiki manajemen service recovery-nya. Buatlah suatu 'integrated service recovery system' yang bisa memulihkan ketidakpuasan pelanggan yang terjadi,” tutupnya.