Upaya recovery yang dilakukan Blue Bird tidak cukup sekadar memulihkan reputasi, diperlukan strategi yang lebih fundamental untuk memberikan value baru yang lebih extraordinary kepada pelanggan. BlueBird menjawab tantangan era disruption ini dengan menggandeng sang “disruptor” Go-Jek untuk menghadapi perubahan perilaku konsumen ini.
Kasus demonstrasi 10 ribu anggota Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) pada 22 Maret 2016 lalu yang menuntut pemerintah untuk memberhentikan operasi jasa transportasi berbasis online, telah menyeret nama besar Blue Bird ke pusaran negatif. Reputasi perusahaan transportasi darat terbesar di Tanah Air itu tercoreng, lantaran demonstrasi yang berbuntut anarkis itu melibatkan para pengemudi taksi Blue Bird.
Rekaman kamera yang menunjukkan pengemudi taksi berseragam biru ini sedang melakukan aksi sweeping terhadap para pengendara taksi lain yang tidak ikut dalam unjuk rasa, dalam sekejap menjadi viral di dunia maya. Kalimat nyinyir, kecaman pedas, hingga meme negatif yang menyindir manajemen Blue Bird—yang dinilai membiarkan para pengemudi taksinya untuk ikut berdemonstrasi—menghantam perusahaan jasa angkutan taksi yang leader di kategorinya ini. Reputasi Blue Bird makin terpuruk ketika media massa nasional menayangkan aksi anarkis yang berbuntut kekecewaan publik terhadap brand layanan taksi yang dikenal santun, nyaman, dan aman ini.
Manajemen Blue Bird cukup tanggap menghadapi krisis yang terjadi saat itu, Pada hari saat terjadinya demonstrasi, manajemen melakukan klarifikasi di akun resmi media sosialnya. Manajemen juga mengimbau agar sopir Blue Bird tidak mengikuti aksi demonstrasi dan tetap melayani penumpang.
Pada hari yang sama, manajemen Blue Bird menggelar pressconference yang dihadiri oleh Komisaris Utama Blue Bird sekaligus putri pemilik perusahaan ini, Noni Sri Aryati Purnomo. Konten press conference berisi permohonan maaf dan janji untuk menggratiskan layanan taksi selama satu hari pasca demonstrasi kepada seluruh pelanggan di wilayah Jabodetabek.
Demo besar para pengemudi taksi se-Jabodetabek ini sejatinya hanya puncak gunung es dari fenomena disruption dan persoalannya yang melanda sejumlah industri di Indonesia. Perkembangan teknologi telekomunikasi yang mengubah perilaku konsumen Indonesia, pada tahun lalu secara signifikan telah mempengaruhi bisnis jasa transportasi darat di Indonesia.
Dengan teknologi telekomunikasi, konsumen angkutan darat kini dapat menyewa kendaraan dengan lebih mudah (menggunakan aplikasi di smartphone), lebih murah (dibandingkan tarif sewa kendaraan reguler), dan lebih cepat (karena jumlah armadanya sangat banyak mengingat manajemen menggunakan sistem crowdsourcing untuk mendapatkan pengemudi dan kendaraan sewanya). Jadi, siapa saja yang memiliki kendaraan kini bisa bergabung dalam bisnis ini yang saat ini dikembangkan oleh tiga brand besar, yaitu Go-Jek, Grab, dan Uber.
Bayangkan, dalam situasi di mana peraturan belum dibuat untuk mengatur bisnis baru ini, Blue Bird harus sudah menghadapi kompetisi yang sangat ketat. Tak heran kalau dalam waktu yang tidak terlalu lama sejak ketiga brand pendatang baru bisnis transportasi darat ini masuk ke pasar, bisnis Blue Bird langsung tergerus. Tidak hanya manajemen yang galau menghadapi bisnis yang menurun, para pengemudi yang setiap hari berada di lapangan lebih galau lagi mendapati pelanggannya yang pada lari. Di tengah kegalauan inilah muncul ide demonstrasi yang berdampak pada reputasi brand Blue Bird.
Jadi, upaya recovery yang dilakukan Blue Bird tidak cukup sekadar memulihkan reputasi. Perlu upaya yang lebih fundamental untuk memberikan value layanan baru dan melakukan revitalisasi demi menghadapi peta persaingan baru serta perubahan lansekap bisnis transportasi darat di Indonesia.
Menggandeng Sang Disruptor...