Transformasi Pos Indonesia di Era Ekonomi Digital

Sebagai perusahaan jasa kurir, Pos Indonesia memiliki kekuatan yang belum tertandingi oleh kompetitor, yakni ribuan jejaring kantor pos yang tersebar hingga pelosok. Namun, mengandalkan kekuatan gerai fisik saja tidaklah cukup. Di era ekonomi digital, perusahaan plat merah itu dituntut untuk bertransformasi dan mengubah model bisnisnya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memproyeksikan ekonomi digital di Indonesia tembus US$ 130 miliar atau setara dengan Rp 1.700 triliun pada 2020. Sementara itu, pada 2017 nilainya telah menyentuh angka US$ 75 miliar atau Rp 1.000 triliun.

Angka yang sangat menjanjikan tentunya, bagi para pelaku bisnis. Tanpa terkecuali, bagi brand plat merah, Pos Indonesia. Dikenal sebagai pionir di jasa pengiriman dokumentasi, barang, dan uang, Pos Indonesia kini telah memiliki 4.800 gerai kantor pos yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.

Banyaknya jumlah gerai tersebut tentu saja menjadi added value sekaligus kekuatan yang dimiliki oleh Pos Indonesia. Namun, dengan perubahan perilaku konsumen di era digital seperti sekarang, mengandalkan kekuatan gerai fisik saja tidaklah cukup. Pos Indonesia dituntut untuk bertransformasi sekaligus mengubah model bisnisnya.

“Salah satu dream saya ketika masuk ke Pos Indonesia adalah menjadikan Pos Indonesia relevan kembali dengan ekonomi digital. Oleh karena itu, kami harus mampu berdaptasi dengan perubahan,” kata Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) Gilarsi W. Setijono.

Lebih jauh ia menerangkan bahwa untuk menjadi relevan terhadap ekonomi digital, dibutuhkan tiga elemen yang wajib dipenuhi. Ketiganya adalah people, network, dan technology. “Nah, untuk people, kami sudah punya. Begitu juga dengan network, di mana keberadaan Pos Indonesia di wilayah rural dan sub-urban sudah mencapai 55% dan di wilayah urban sudah mencapai 45%,” paparnya di sela-sela acara peluncuran Kiosk Blibli InStore di gerai kantor Pos Indonesia di Jakarta, pada awal Februari 2018.

Pada elemen teknologi-lah, menurut Gilarsi, Pos Indonesia masih belum relevan dan terpenuhi. Dan, e-Commerce pun dipilih sebagai salah satu cara Pos Indonesia dalam merelevankannya dengan ekonomi digital. Langkah ini diambil mengingat logistik atau jasa kurir (pengiriman) menjadi salah satu pilar penting dalam membangun ekosistem di industri e-Commerce. Dua pilar lainnya di industri e-Commerce adalah market place online dan paymentgateway.

Ia menambahkan bahwa untuk pilar logistik dan payment gateway, Pos Indonesia sudah memilikinya. Langkah berikutnya, Pos Indonesia tengah memodernisasikan kedua pilar tersebut sehingga memiliki standardisasi dalam layanan berbasis digital.

Diakui Gilarsi, sampai saat ini, jasa kurir memang masih menjadi backbone dari bisnis Pos Indonesia. Kontribusinya mencapai 60% terhadap total pendapatan perusahaan. Yang menarik, dari angka 60% tersebut, kontribusi e-Commerce mencapai 40%-45% atau naik 20% hanya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Adapun sisanya, dikontribusi oleh layanan jasa keuangan (30%), serta 10% dari layanan logistik, properti, maupun penjualan materai.

Tahun ini Pos Indonesia juga masih mengandalkan jasa kurir sebagai tulang punggung utama. Target pendapatan dari layanan kurir pada tahun ini mencapai Rp3,3 triliun atau 60% dari total perkiraan pendapatan Pos Indonesia sebesar Rp 5,5 triliun.

Mengembalikan kejayaan Pos Indonesia sebagai jawara di layanan kurir memang tak mudah. Maklum saja, kompetitor sejenis marak bermunculan. Agresivitas mereka dalam menggandeng marketplaceonline atau perusahaan yang membutuhkan jasa kurir juga sangat tinggi.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)