TIKTOK DI PUSARAN POLITIK INDONESIA

TikTok membentuk arena baru dalam pemilu Indonesia, menggeser fokus dari kebijakan ke personalitas, mengundang kritik atas penyebaran informasi palsu dalam kontestasi demokrasi

.

.

Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik. Salah satu fenomena yang menarik adalah penggunaan aplikasi media sosial TikTok dalam lanskap politik Indonesia, khususnya menjelang pemilihan presiden. Platform ini telah menjadi arena pertarungan baru, tidak hanya karena jumlah penggunanya yang sangat besar, tetapi juga karena dampaknya terhadap cara kampanye politik dilakukan dan diterima oleh masyarakat.

Pada pandangan pertama, TikTok memberikan kesan sebagai alat demokratisasi politik yang memungkinkan politisi menjangkau pemilih muda dengan cara yang menyenangkan dan relatable. Video tarian, lipsync, dan meme menjadi cara bagi kandidat untuk menunjukkan sisi manusiawi mereka, dan ini telah berhasil menarik perhatian generasi milenial dan Gen Z yang jumlahnya sangat signifikan dalam demografi pemilih Indonesia.

Namun, dibalik kemudahan akses dan kreativitas yang ditawarkan, TikTok juga memunculkan tantangan dan masalah serius. Para ahli media sosial di Indonesia, seperti Rustika Herlambang dari Indonesia Indicator, telah menunjukkan kekhawatiran bahwa aplikasi ini mengurangi esensi pemilu menjadi sekadar hiburan. Platform yang seharusnya menjadi ruang untuk diskusi kebijakan dan visi politik malah berpotensi menjadi ajang kontes popularitas yang berbasis pada gimik semata.

Hal ini bukan tanpa alasan. Studi oleh New York University dan Global Witness menemukan bahwa TikTok memiliki persentase iklan politik palsu tertinggi dibandingkan dengan situs lain, termasuk YouTube dan Facebook, dalam kampanye pemilihan tengah periode Amerika pada tahun 2022. Meski TikTok telah menyatakan kebijakannya melarang misinformasi dan menyambut umpan balik untuk perbaikan, masih ada kekhawatiran terkait efektivitas dan integritas platform dalam menjaga kualitas konten politik yang disajikan.

Lebih jauh lagi, praktik-praktik tidak sehat seperti pembayaran kepada individu untuk memuji politisi tertentu dan menjelek-jelekkan rival di media sosial menjadi semakin umum dan sulit dikontrol di TikTok. Fenomena "buzzers", yang dikenal sebagai praktik manipulasi opini online, diduga digunakan dalam semua kampanye dan menjadi masalah serius dalam memastikan kompetisi yang adil dan transparan.

Dalam konteks demokrasi Indonesia, yang telah mengalami kemunduran selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi, fenomena ini tentu mengundang keprihatinan. Jika politik berubah menjadi sekadar pertunjukan tanpa substansi, maka kualitas demokrasi pun dipertaruhkan. Apalagi dengan kenyataan bahwa kampanye dengan dana besar cenderung mendominasi ruang-ruang media sosial seperti TikTok, muncul pertanyaan kritis: apakah ini mencerminkan suara rakyat sebenarnya atau hanya gema dari mesin politik yang paling banyak mengeluarkan uang?

Sebagai penutup, TikTok, dengan segala dinamika dan kontroversinya, memang telah menjadi salah satu kunci pertarungan dalam pemilihan presiden Indonesia. Namun, penting bagi kita semua untuk mengingat bahwa di balik hiruk-pikuknya, substansi dan integritas politik tetap harus menjadi hal yang paling diutamakan.

REFERENSI

TikTok is a key battleground in Indonesia’s election. (2024, Feb 01). The Economist (Online), https://www.proquest.com/magazines/tiktok-is-key-battleground-indonesia-s-election/docview/2920660119/se-2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)