BOIKOT ETIS: GERAKAN SOLIDARITAS UNTUK PERUBAHAN POSITIF

Di tengah konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan, masyarakat Indonesia bersatu dalam gerakan boikot etis terhadap produk yang mendukung agresi. Solidaritas ini membuka jalan baru bagi perubahan sosial yang berkelanjutan dan positif, menunjukkan kekuatan kolektif dalam mempromosikan perdamaian dan keadilan.

.

.

Konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel yang berujung pada banyaknya korban telah memicu isu boikot secara global dalam tiga bulan terakhir. Gerakan ini menargetkan produk-produk dari merek yang diduga mendukung atau memiliki afiliasi dengan Israel.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 83 tahun 2023, yang berisi tentang Hukum Dukungan untuk Palestina. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan bahwa yang dilarang bukanlah produknya, tetapi tindakan membelinya. Masyarakat dihimbau untuk tidak membeli produk yang mendukung agresi Israel terhadap Palestina.

Dalam konteks ini, laporan survei yang dilakukan oleh Jakpat menawarkan wawasan yang mendalam tentang perilaku konsumen Indonesia pasca-isu boikot. Survei ini mengumpulkan respons dari 1285 responden dari berbagai wilayah di Indonesia, melalui aplikasi seluler Jakpat, pada tanggal 19-20 Februari 2024.

Dengan margin kesalahan sebesar 5%, survei ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsumsi atau penggunaan produk fast food, fashion, makanan & minuman, makeup, dan produk perawatan pribadi setelah isu boikot mencuat.

Dalam survei tersebut, tercatat bahwa 82% dari generasi Z sadar dan mengikuti isu boikot, dengan 73% di antaranya turut aktif melakukan boikot. Ini menandakan bahwa generasi muda sangat responsif terhadap isu sosial dan politik yang terjadi.

Di kalangan Millennials, kesadaran ada di angka 77%, namun yang melakukan boikot turun menjadi 61%, yang bisa menunjukkan bahwa meskipun generasi ini sadar akan isu tersebut, ada faktor lain yang mungkin mempengaruhi keikutsertaan mereka dalam boikot. Sedangkan untuk generasi X, 69% menyatakan kesadaran mereka terhadap isu ini dan 54% dari mereka ikut serta dalam aksi boikot.

Dari sisi status sosial ekonomi, terdapat perbedaan yang menarik. Untuk mereka yang berasal dari strata atas, 78% menyadari isu ini namun hanya 55% yang mengambil bagian dalam boikot. Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa meskipun kesadaran tinggi, faktor-faktor seperti kenyamanan dan kesetiaan pada merek atau kurangnya pilihan alternatif yang memadai bisa jadi menghambat partisipasi.

Sementara itu, di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah, kesadaran dan keikutsertaan dalam boikot cukup seimbang, yaitu 77% dan 70%. Ini menunjukkan adanya keterikatan yang kuat antara kesadaran sosial dengan tindakan nyata di kelompok ini.

Tren Konsumsi Baru

Pages: 1 2 3 4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)