Bila Perusahaan Secara Sosial Tidak Patuh

 

Dalam sepuluh tahun terakhir, publik menyaksikan transisi yang menakjubkan begitu tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) berkembang dari satu silo yang bagus menjadi prioritas strategis mendasar bagi bisnis besar dan kecil.

Ketika tersiar kabar dua pria kulit hitam ditangkap ketika sedang menunggu seorang temannya di salah satu gerai Starbucks di kota Philadelphia, Amerika Serikat, banyak warga yang protes. Jaringan gerai kopi internasional Starbucks itupun menyampaikan permintaan maaf.

Kamis (12/4) malam itu, manajer gerai Starbucks menghampiri dua pria itu dan memintanya untuk pergi setelah mereka meminta untuk menggunakan toilet tanpa melakukan belanja. Kedua pria itu menolak untuk pergi dan mengatakan bahwa mereka sedang menunggu seorang teman.

Staf Starbucks menuding dua orang itu masuk menerabas tanpa izin, dan video amatir menunjukkan polisi memborgol tangan keduanya. Rekaman itu menjadi viral sejak diposting di Twitter dan memunculkan tuduhan bahwa Starbucks memilah-milah orang berdasarkan profil rasial.

Cuplikan insiden yang telah ditonton hampir sembilan juta orang itu, memicu kemarahan dan seruan boikot terhadap kedai kopi Starbucks. Pada Minggu (15/4), sejumlah orang berkumpul di luar toko itu untuk melakukan protes.

Sepuluh tahun terakhir, publik bisa menyaksikan banyak perusahaan yang menggunakan pengaruhnya untuk mengadvokasi solusi global seputar isu-isu seperti perubahan iklim, pendidikan, kemiskinan, dan persamaan dan hak asasi manusia. Dalam artikelnya di www.forbes.com, Susan McPherson menulis, ketika tahun 2017 - satu tahun yang cenderung penuh dengan ketidakpastian politik dan pergolakan kebijakan - pertanyaan besar untuk CSR adalah: apa yang terjadi sekarang?

Seperti kebanyakan rekan-rekannya, McPherson memprediksi bahwa di bawah kondisi tantangan dan peraturan baru, perusahaan tidak hanya akan menegakkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan, mereka juga akan berada di garis depan kemajuan global yang tidak pernah ada sebelumnya.

Orang-orang yang bekerja untuk Davio, sebuah restoran daging panggang bergaya Italia di Amerika Serikat, tidak akan pernah lagi mendengar satu kata yang sangat umum digunakan di tempat kerja: karyawan. Pasalnya, direktur restoran itu, Steve DiFillippo, telah melarang penggunaannya. "Menurut saya, 'karyawan' adalah kata yang jelek. Siapa yang mau jadi karyawan? Kata ini bukanlah sesuatu yang Anda perjuangkan," kata DiFillippo. Ketimbang karyawan, dia menyebut mereka yang bekerja di Davio sebagai 'tamu dalam'.

Tim Mohin, chief executive di GRI, yakin bahwa tesis tentang keberlanjutan tetap menjadi prioritas bagi perusahaan. "Tahun 2017 jelas menjadi tahun perubahan besar! Kemungkinan besar peraturan sosial dan lingkungan melemah. Ini pernah terjadi sebelumnya. Saya dapat mengingat keadaan yang sama ketika saya bekerja di Environmental Protection Agency selama masa Reagan.

Reaksi balik yang kuat saat itu menciptakan gelombang perubahan besar, termasuk Amandemen Clean Air Act dua tahun 1990. Selisihnya kali ini adalah bangkitnya tanggungjawab perusahaan. Meskipun kata-kata ini dianggap sebagai oxymoron di tahun 80-an, saat ini sebagian besar perusahaan besar berkomitmen untuk melaporkan dampak lingkungan dan sosial mereka dan terus meningkatkan kinerjanya. Ini tidak akan berubah karena sekarang berakar pada reputasi dan merek perusahaan."

Pages: 1 2 3
Tags:
protes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)