Praktik bisnis berkelanjutan sejatinya harus diimplementasikan dalam setiap proses bisnis perusahaan, termasuk perusahaan ritel. Artinya, dalam proses bisnisnya, perusahaan ritel juga harus memastikan bahwa proses produksi bahan pangan pokok dari pemasok yang dijual di ritelnya harus menerapkan praktik bisnis berkelanjutan.
Terkait bahan pangan pokok, saat ini, telur merupakan salah satu bahan pangan dengan kandungan protein hewani yang cukup terjangkau harganya bagi mayoritas konsumen Indonesia. Sementara itu, di Indonesia, dikenal tiga tipe telur yang diproduksi secara ternak dan industri untuk konsumsi harian. Ketiganya adalah telur ayam ternak, telur ayam desa, dan telur bebek.
Dan merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2019, produksi telur ayam ternak dan desa berada di angka 4.753.382. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk serta peningkatkan status sosial ekonomi masyarakat.
Sayangnya, produksi telur ayam ternak di Indonesia cukup berisiko. Studi investigasi yang dilakukan LSM internasional, Equitas Global--sebuah organisasi perlindungan konsumen dan kesejahteraan hewan--telah menjumpai adanya praktik bisnis yang berisiko memunculkan pandemi baru lewat praktik kandang telur baterai. Praktik bisnis tersebut menjadikan ternak ayam petelur tinggal di dalam kandang yang sangat sesak dan sempit, sehingga kesulitan untuk bergerak hingga menimbulkan kecacatan.
Hasil investigasi LSM internasional ini juga mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah pemasok telur di Indonesia yang memasok telur ayam bagi salah satu pemain ritel ternama di Indonesia. Praktik kandang telur baterai bahkan menjadikan kotoran ayam menumpuk dan burung-burung liar beterbangan, sehingga sangat berisiko memunculkan penyebaran mutasi flu burung.
Dalam siaran pers yang diterima MIX, Bonnie Tang, Campaign Manager Equitas, menegaskan, “Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) memperlihatkan tiga dari empat penyakit menular baru pada manusia adalah zoonosis, yang berasal dari hewan liar, namun dapat menyebar dan menular ke hewan ternak dalam industri.”
Peternakan kandang baterai yang mengurung hewan, seperti halnya temuan investigasi Equitas pada salah satu supermarket Indonesia tentunya meningkatkan munculnya risiko epidemi zoonosis seperti flu burung dan kontaminasi salmonella. “Hal ini sangat ironis, mengingat saat ini dunia tengah berjuang melawan pandemi yang disebabkan oleh penyimpangan dan kelalaian keamanan produksi pangan,” ucapnya.
Padahal di lintas benua Asia, perusahaan ritel dan supermarket internasional telah berkomitmen untuk hanya menjual dan memasok telur yang berasal dari peternakan ayam “bebas kandang”, yang tentu saja jauh lebih aman bagi konsumen dan memperlakukan hewan ternaknya secara baik.
Saat ini, menurutnya, terdapat lebih dari 50 perusahaan besar yang bergerak di bidang pangan, yang telah berkomitmen untuk hanya menjual telur yang berasal dari peternakan ayam ‘bebas kandang’ di Indonesia, termasuk Starbucks, Subway, Burger King, Nestle, dan sebagainya.
Untuk itu, Bonnie menyarankan, “Akan lebih baik bagi para pelaku bisnis, khususnya di Indonesia, untuk terus menerapkan praktik bisnis berkelanjutan, salah satunya menghilangkan kandang telur baterai yang berisiko.”