MALCOLM GLADWELL DAN MISTERI TIM RUGBY WANITA HARVARD

Menariknya, Harvard memiliki persentase atlet mahasiswa yang lebih tinggi dibandingkan dengan universitas besar yang terkenal dengan kekuatan atletiknya seperti University of Michigan. Meski demikian, pada tahun 2013, Harvard merasa perlu menambahkan opsi baru untuk mahasiswi mereka: rugby wanita.

Ini bukan keputusan kecil. Membangun tim rugby wanita berarti merekrut pelatih dan staf pendukung, serta menjaring atlet berbakat. Rugby, yang dikenal sebagai olahraga asing dan penuh kekerasan di AS, memiliki daftar cedera yang panjang—bahu terkilir, tulang selangka patah, ligamen lutut robek, dan gegar otak. Tidak banyak sekolah menengah di AS yang menawarkan rugby, dan banyak wanita muda secara alami menjauh dari olahraga ini karena tingkat bahayanya.

Meskipun demikian, Harvard tetap memutuskan untuk merekrut pemain dari seluruh dunia. Pelatih tim, Mel Denham, menjelaskan bahwa mereka mencari bakat dari berbagai negara, termasuk Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Mereka juga menjaring pemain dari Kanada, Skotlandia, hingga Honduras.

Tim rugby wanita Harvard bukan hanya sekadar kelompok atlet yang berjuang untuk menang di lapangan, mereka adalah simbol perubahan yang lebih luas.

Di kampus Ivy League yang kerap dianggap sebagai sarang elitisme dan tradisi konservatif, muncul sekelompok wanita yang dengan penuh keyakinan menerobos stereotip dan menciptakan ruang baru bagi diri mereka sendiri.

Mereka adalah representasi dari benturan antara tradisi dan inovasi, antara tubuh dan pikiran, antara ekspektasi lama dan realitas baru yang sedang mereka ciptakan.

Tetapi, mengapa Harvard rela bersusah payah untuk ini?

Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana sistem penerimaan mahasiswa di Harvard bekerja. Harvard memiliki dua jalur penerimaan: jalur reguler untuk siswa yang sangat cerdas dan jalur khusus untuk apa yang disebut "ALDC"—yaitu atlet, anak alumni, anak-anak orang kaya, dan anak-anak fakultas. Para ALDC ini memiliki peluang jauh lebih tinggi untuk diterima, bahkan dengan prestasi akademik yang lebih rendah.

Dalam gugatan yang diajukan pada 2014 oleh Students for Fair Admissions (SFFA), data yang dipaparkan di pengadilan menunjukkan bagaimana atlet secara signifikan lebih mungkin diterima dibandingkan pelamar biasa. Atlet hampir selalu diterima, bahkan ketika mereka memiliki prestasi akademik yang jauh lebih rendah dibandingkan pelamar non-atlet.

Jadi, ketika kita melihat kebijakan penerimaan ini, ada pola yang mencolok. Harvard memberikan keistimewaan luar biasa bagi atlet, bukan karena prestasi akademis mereka, melainkan karena "sesuatu yang istimewa" yang mereka bawa ke komunitas kampus—meskipun "sesuatu yang istimewa" itu lebih sering berkaitan dengan status sosial daripada kontribusi nyata pada lingkungan belajar.

Rugby wanita di Harvard bukan sekadar soal olahraga. Ini adalah alat untuk mempertahankan proporsi kelompok sosial yang diinginkan di kampus. Sama seperti tenis, layar, atau dayung, rugby memberikan kesempatan bagi mahasiswa dari keluarga elit untuk mendapatkan akses ke salah satu universitas paling bergengsi di dunia.

Pages: 1 2 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)