Sayangnya, menurut Andri, tidak semua penerbit atau distributor buku bisa langsung melakukan switch untuk strategi marketing mereka, yakni dari B2B (Business to Business) ke B2C (Business to Consumer).
Fenomena lain yang perlu dicatat oleh para pemasar di industri penerbitan buku, ditegaskan Andri, adalah perubahan pola perilaku konsumen, khususnya segmen remaja. “Konsumen remaja tidak lagi melihat harga, tapi gimmick. Mereka juga selalu ingin menjadi orang yang pertama mendapatkan produk bukunya,” ungkapnya.
Ada lima strategi yang dilancarkan Loveable sehingga omset dan penjualannya bukunya naik di masa pandemi. Pertama, Loveable melakukan pengelolaan secara intens terhadap buku-buku best seller-nya, yang saat ini jumlahnya mencapai 30 best seller.
Kedua, Lovable juga massif menggelar program Pre Order melalui toko buku online, e-Commerce, maupun reseller individu. “Tak hanya itu, kami juga menjual merchandise, e-book, hingga IP content ke berbagai rumah produksi,” lanjut Andri.
Ketiga, Loveable juga melakukan optimalisasi di semua lini, baik optimalisasi promosi, branding, hingga reseller. “Objektifnya, buku sudah bukan lagi untuk dibaca, melainkan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat,” ucapnya.
Keempat, Loveable melakukan optimalisasi stock produk melalui program bundling dan online.
Kelima, Loveable mengelola Dead Stock, yakni mengelola buku-buku yang tidak terjual melalui program diskon.
Menurut Orna Ross, Penulis, Pendiri, dan Direktur Alliance of Independent Authors, kemajuan teknologi dan krisis Covid-19 telah mempercepat tren baru di bisnis buku. Antara lain, tren penjualan buku digital dan even online, dimana praktik seperti itu sudah lama diterapkan oleh para penulis indie.