Trend ini sejalan dengan perubahan generasi peminum kopi
setelah munculnya konsumen millennial. Dominasi populasi anak muda Indonesia menciptakan
gaya hidup baru dalam mengonsumsi kopi. Kehadiran media sosial memang memudahkan
pemilik bisnis melakukan marketing dan promosi.
Tapi di sisi lain, kehadiran media sosial yang terhubung memudahkan
konsumen muda dalam mengambil keputusan tentang kopi yang dibeli dan
dikonsumsinya. Ini tak lepas dari pengaruh teman dan selebritas yang terhubung
dengan mereka.
Membelinya pun bisa dengan menggunakan aplikasi dan diantar
sampai ke tempat yang diinginkan. Kehadiran platform ride hailing (GrabFood dan
GoFood) memungkinkan konsumen membeli tanpa mendatangi kedai kopi.
Kalau begitu apakah kedai kopi tak penting? Sekarang pilihan
dalam mengkonsumsi tidak hanya harga maupun rasa, ada variable lainnya yakni konsep produk dan value. Contohnya Kopi
Kenangan dan Janji Jiwa. Mereka mengangkat konsep emosional (baper-baperan).
Untuk itu, penamaan
menu (seperti kopi Kenangan Mantan) dan kemasan dibuat menarik. Tempat yang
instagrammable dan fasilitas internet juga menjadi pertimbangan. Gen Z biasanya
membeli kopi tidak hanya untuk diminum, tapi juga difoto, dan di-upload. “Mereka
butuh bahan untuk konten media sosial. Jadi kedai fisik tetap menjadi variable utama
dalam keputusan pengonsumsian kopi,” kata Sarita Sutedja, Founder Upnormal
Coffee Roaster, seperti dikuitp dalam kajian MIXMarcomm dan Toffin tadi.
Beberapa waktu lalu,
seorang teman yang juga punya kedai kopi bercerita. Dia pernah melakukan uji
coba tiga merek kopi RTD. Mereknya sengaja tidak ditampilkan dan beberapa
konsumen kopi diminta untuk mencicipi dan menentukan mana yang paling enak.
Hasilnya, kopi RTD yang memiliki kandungan gula tertinggi yang disebut sebagai
paling enak.
Meskipun kopi susu
cita rasa kekinian sedang booming. Namun, gula, dan susu bukan satu-satunya
aditif kopi. Zaman kopi beraroma seperti yang kita kenal dimulai pada 1960-an
ketika produsen kopi instan mulai menambahkan rasa buatan seperti vanilla dan
hazelnut ke minuman mereka. Namun sebenarnya, soal penambahan flavor ini sudah
ada sejak lama.
Untuk meregangkan
jumlah kopi, beberapa orang memadukan kopi dengan beragam biji-bijian. New
Orleans, misalnya, mempopulerkan kopi rasa chicory, dibuat dengan menambahkan
minuman yang sedikit pahit pada kulit pohon.
Banyak juga yang
menambahkan hazelnut, vanilla, dan cokelat ke dalam kopi mereka. Pada tahun
1980-an, banyak toko-toko khusus kopi yang menebarkan aroma dominan seperti
hazelnut, bukan kopi. Ini menunjukkan pengaruh dan popularitas hazelnut sebagai
zat tambahan rasa kopi.
Di beberapa wilayah
Indonesia juga popular kopi yang dicampur dengan jagung atau beras. Namun, hal
itu dilakukan bukan seperti yang dipersepsikan kebanyak orang, yakni untuk
menambah volume. Namun sejatinya, seperridi Banyuwangi, itu adalah dilakukan
untuk mengurangi rasa pahit karena kebanyakan di kita menyangrainya sampai matang
belum dan ada persepsi bahwa kopi harus pahit.
Kekekuatan lokal itu
semakin berkembang manakala melihat ternd saat ini. Di Indonesia minuman dengan
rasa lokal seperti kopi susu gula aren, klepon, kopyor, dan pisang coklat,
menjadi rasa baru yang diperkirakan akan menjadi tren di tahun depan.
Hal ini dilihat dari
tingginya permintaan bahan-bahan tersebut dari para pelaku usaha kepada pemasok
bahan. Para pelaku bisnis sudah mulai mempersiapkan variasi menu baru untuk
tahun depan. Selain itu minuman dengan bahan campuran natural, akan semakin
diminati. (Toffin Insights, 2019).
Gambaran ini
memperkuat anggapan bahwa konsumen kopi kini benar-enar terfragmentasi. Meski
ada segmen yang dominan, namun dominasi tidak begitu mencolok karena kecenderng
orang untuk mencoba rasa-rasa kopi tertentu.
Mereka mungkin tidak
terlalu fanatik dan cenderung berubah. Artinya, analisis situasi, segmentasi,
targeting dan positioning sangat penting. Ini sekali lagi yang membuat orang
harus berpikir terus untuk berkreasi dan berinnovasi baik produk maupun
layanannya.