Konsep triple helix--dengan menciptakan sinergi antara akademik, bisnis, dan pemerintahan demi membangun ekosistem berbasis pengetahuan--makin dikedepankan pemerintah Indonesia. Konsep ini pula yang dijadikan dasar pemerintah dalam membangun ekosistem riset dan inovasi di Indonesia.
“Saya ingin kembali lagi pada konsep triple helix sebagai dasar membangun ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Kolaborasi dengan dunia usaha menjadi prioritas urgensi saat ini. Kalau triple helix antara pemerintah, peneliti, dan dunia usaha tidak bisa dibangun dengan baik, menurut saya sangat mustahil kita bisa melahirkan ekosistem riset dan inovasi yang kuat,” ungkap Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro pada acara ‘Diskusi Kebijakan: Kolaborasi Kepakaran dan Riset Dasar untuk Lompatan Inovasi’ yang digelar Knowledge Sector Initiative dan Katadata pada hari ini (12/1).
Lebih jauh ia menegaskan, pada masa pandemi, kolaborasi triple helix antara peneliti, pemerintah dan dunia usaha bisa berjalan lancar. Salah satu contohnya adalah produksi alat tes Covid-19 yang dibuat oleh industri dalam negeri. Padahal, ketika awal pandemi, alat tes Covid-19 masih diimpor. Ini menjadi contoh bahwa di masa pandemi, peneliti sudah bisa berkolaborasi dengan dunia usaha yang selama ini lebih memrioritaskan keuntungan dan juga dengan bantuan dari pemerintah.
Namun, ada hal lain yang masih perlu diperbaiki, yakni kolaborasi dengan daerah. Sebab, masih ada Balitbangjirap (Badan Penelitian Pengembangan Pengkajian dan Penerapan) di daerah yang diisi oleh nonpeneliti. Hal ini disebabkan cara kerja yang masih seperti birokrat. Akibatnya, membuat Balitbangjirap sulit untuk menghasilkan riset berkualitas tinggi dan memiliki kepakaran. Dengan demikian, seringkali hasil penelitiannya tidak dipakai oleh pemangku kebijakan.
“Di sinilah seharusnya pemerintah berperan memfasilitasi transformasi sosial, budaya, dan ekonomi di daerah. Sebab, centre of excellence itu mustinya terjadi di daerah. Selain fasilitas, harus ada juga penguatan suatu rantai nilai dalam kerangka ekonomi (circular economy) dengan berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Nanti, kami elaborasi itu,” ungkap Direktur Tata Ruang, dan Penanganan Bencana Bappenas Sumedi Andono Mulyo.
Sementara itu, perguruan tinggi dapat berperan besar untuk membantu memperkuat kualitas riset dan inovasi di daerah. Terlepas dari belum banyak lembaga penelitian pemerintah atau non-pemerintah yang memiliki kepakaran kuat pada suatu bidang, menurut Sumedi, perguruan tinggi di Tanah Air diyakini memiliki bibit-bibit kepakaran isu strategis.
Ditambahkan Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Roby Muhamad, ketika negara mampu mengembangkan riset dasar di beberapa bidang strategis, tantangan yang tidak terduga dapat diprediksi dengan baik.
“Pola pikir kita harus keluar dari pakem selama ini, keluar dari pola pikir riset dasar ke aplikatif. Untuk keluar dari sini, kita harus fokus memajukan teori sosial dan fokus pada solusi masalah sosial. Jadi, menyelesaikan masalah sosial dan membangun teori sosial harus dikerjakan bersama-sama,” pungkas Roby.