Hari-hari ini, semua orang menjadi tahu segalanya. Diakui atau tidak, Web, Wikipedia, atau Google Search Engines – bahkan sekarang banyak web yang menyediakan literature klasik yang gampang diakses dan gratis -- warga grup atau kelompok diskusi lainnya makin percaya diri bahwa mereka berada pada posisi intelektual yang setara dengan para politisi, lawyer, dokter atau diplomat.
Semua opini yang disuarakan, yang paling konyol sekalipun, menuntut perhatian dengan keseriusan yang sama. Klaim apa pun yang bertentangan ditolak dan dibantah dengan klaim dan data lainnya. Data bisa didapat dengan mudah cara googling atau browsing di internet.
Seperti yang ditunjukkan Tom Nichols dalam The Death of Expertise, penolakan pada para ahli ini terjadi karena berbagai alasan, seperti keterbukaan internet, munculnya model kepuasan pelanggan dalam pendidikan tinggi, dan transformasi industri berita menjadi mesin hiburan selama 24 jam. Paradoksnya, penyebaran informasi yang semakin demokratis, alih-alih menghasilkan publik yang terdidik, sebaliknya justru menciptakan warga yang tidak tahu informasi dan gampang marah mencela kalangan intelektual.
Ini adalah saat yang berbahaya. Belum pernah begitu banyak orang yang memiliki begitu banyak akses ke begitu banyak pengetahuan dan bertahan untuk mempelajari apa saja. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, beberapa orang-orang cerdas merendahkan pencapaian intelektual dan menolak saran para ahli.
Fenomena ini meningkatkan jumlah orang awam yang tidak memiliki pengetahuan dasar, menolak aturan dasar pembuktian dan menolak untuk belajar bagaimana membuat argumen yang logis. Dengan demikian, mereka berisiko membuang berabad-abad akumulasi pengetahuan dan merusak praktik dan kebiasaan yang memungkinkan kita untuk mengembangkan pengetahuan baru.
Benar bahwa para ahli bisa saja melakukan kesalahan seperti yang ditunjukkan dengan adanya bencana dari thalidomide hingga ledakan Challenger. Tapi pada banyak kasus, para ahli memiliki pengetahuan diatas rata-rata yang bagus dibandingkan dengan orang awam. Dokter misalnya, apa pun kesalahan mereka, pengetahuannya masih lebih baik dengan kebanyakan orang awam yang mengaku bisa menyembuhkan penyakit. Intinya, menurut Nichols, menolak gagasan keahlian, dan menggantinya dengan desakan bahwa setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri, adalah konyol.
Kematian keahlian mencerminkan penolakan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga cara orang memperoleh pengetahuan dan belajar tentang berbagai hal. Pada dasarnya, ini adalah penolakan terhadap sains dan rasionalitas, yang merupakan dasar dari peradaban Barat itu sendiri. Benar peradaban barat itu paternalistik, rasis, etnosentris untuk pengetahuan yang menciptakan bom nuklir dan New Coke misalnya, tetapi peradaban itu telah membuat penderita diabetes tetap hidup, mendaratkan pesawat raksasa, dan menulis dokumen seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Menurut Nichols, solusi tradisional tidak lagi berfungsi. Pendidikan, alih-alih meruntuhkan hambatan untuk terus belajar, malah mengajarkan anak-anak muda bahwa perasaan mereka lebih penting daripada yang lain. Bagi beberapa mahasiswa, kuliah hanyalah satu latihan dalam penegasan diri pribadi. Media sekarang terperosok dalam persaingan. Mereka meminta konsumen tentang apa yang ingin mereka ketahui alih-alih memberi tahu kepada mereka apa yang penting. Internet – karena keberagamannya – ibarat sebuah sumur informasi yang diracuni dengan sabotase intelektual.
Ada tanda-tanda harapan. Para ahli mulai melawan serangan terhadap keahlian mereka. Dalam mencela hasil Brexit, misalnya, James Traub dengan terang-terangan mengatakan bahwa sudah waktunya bagi para pembela liberalisme Barat klasik bangkit melawan kebebalan. Tentu saja, untuk melakukannya mereka mempertaruhkan tuduhan menakutkan, elitisme, sebuah muatan yang selalu memiliki dampak lebih besar di Amerika yang egaliter daripada di budaya yang lebih bertingkat di Eropa dan di tempat lain.