Isu-isu etis juga berperan; 13% mengindikasikan bahwa perubahan dalam dukungan politik perusahaan, seperti berhenti mendukung Israel, dapat membuat mereka merevisi boikot tersebut. Beberapa, sekitar 12%, mengaku bisa saja kembali jika tidak ada alternatif yang memadai, dan ada juga yang tertarik oleh insentif ekonomi seperti diskon, walaupun hanya sebagian kecil, yaitu 10%.
Temuan ini mengungkap kompleksitas perilaku konsumen di dunia yang terus-menerus berubah. Rasa yang lezat dan diskon mungkin cukup menggoda untuk mengesampingkan faktor-faktor boikot, mengingatkan kita bahwa dalam pertempuran antara prinsip dan selera, terkadang selera yang menang.
Bagi merek yang pernah terperosok dalam kasus boikot, ini merupakan pelajaran penting: bahwa perbaikan citra dan kualitas produk harus sejalan dengan tindakan etis dan transparansi untuk memenangkan kembali hati konsumen.
Tak kalah penting, studi ini menyiratkan bahwa pemahaman mendalam tentang nilai-nilai dan prioritas konsumen di setiap generasi adalah kunci bagi merek untuk tidak hanya bertahan dari badai boikot, tetapi juga untuk berkembang dalam jangka panjang. Ini adalah pertanda bagi industri makanan cepat saji untuk terus menyesuaikan dan merumuskan kembali strategi mereka, memastikan bahwa mereka beroperasi dengan cara yang memenuhi tuntutan konsumen yang terus berkembang dan sering kali kontradiktif.
emuan dari studi "Jakpat Speed-to-Insight" yang menelusuri perilaku konsumen pasca-boikot memberikan wawasan berharga bagi merek makanan cepat saji yang diboikot. Kembalinya konsumen ke merek yang pernah mereka tinggalkan tidak selalu sederhana dan sering kali melibatkan pertimbangan yang lebih dalam daripada sekadar faktor harga atau kualitas produk semata.
Merek yang diboikot harus menyadari bahwa konsumen, terutama milenial, telah menunjukkan kesadaran dan komitmen terhadap nilai-nilai mereka yang dapat mengatasi faktor konvensional seperti rasa atau kebiasaan konsumsi. Dengan lebih dari setengah responden menegaskan tidak akan kembali ke merek yang diboykot, ini menjadi sinyal bahwa merek perlu melakukan lebih dari sekadar perbaikan permukaan atau penawaran promosi.
Selanjutnya, pengaruh faktor politik atau etis, seperti yang terlihat dari 13% responden yang akan mempertimbangkan kembali konsumsi jika merek tersebut mengubah sikap politiknya, mengindikasikan perlunya merek untuk memahami dan menghormati nilai-nilai sosial yang dipegang oleh konsumennya. Keputusan bisnis yang dibuat merek harus mempertimbangkan efek jangka panjangnya terhadap persepsi dan kepercayaan konsumen.
Merek juga harus memperhatikan bahwa pilihan konsumen sering kali terbatas pada pilihan yang ada. Jika tidak ada alternatif lain, beberapa konsumen mungkin kembali ke merek yang sebelumnya diboykot. Oleh karena itu, menciptakan pembedaan positif yang kuat terhadap kompetitor dapat mencegah konsumen berpaling ke merek lain.
Penawaran diskon dan promosi mungkin saja menarik kembali sebagian konsumen, seperti yang ditunjukkan oleh 10% responden, namun strategi ini tidak dapat diandalkan sebagai solusi jangka panjang. Merek harus mengintegrasikan strategi yang lebih holistik yang berfokus pada membangun kembali kepercayaan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai konsumen.
Untuk merebut kembali kepercayaan dan kesetiaan pelanggan, merek harus mengevaluasi ulang dan menyusun strategi yang menyeluruh yang memastikan perilaku etis dan tanggung jawab sosial, mempertahankan konsistensi kualitas produk, serta menyampaikan nilai yang resonan dengan apa yang diharapkan oleh konsumen.