Nasib Industri Ritel di Era Disrupsi

Era disrupsi berdampak pada terus menurunnya jumlah ritel di Indonesia, baik di modern maupun general trade. Hanya mereka yang mampu berdaptasi-lah yang berhasil eksis di tengah perubahan perilaku konsumen. Lantas, apa yang harus dilakukan pengelola ritel dalam menghadapi ancaman tersebut?

Pertengahan Juni 2019, industri ritel Tanah Air yang nilai bisnisnya mencapai US$ 130 miliar, dikejutkan dengan isu ditutupnya enam gerai Giant, jaringan ritel milik Hero Group. Keenam gerai yang akan ditutup pada akhir Juli 2019 itu berada di wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi. Keenamnya adalah Giant Ekspress Cinere Mall, Giant Ekspres Mampang Prapatan, Giant Ekspres Pondok Timur, Giant Ekstra Jatimakmur, Giant Ekstra Wisma Asri, dan Giant Ekstra Mitra 10 Cibubur. Indikasi ditutupnya keenam gerai tersebut adalah spanduk bertuliskan diskon dan pemberitahuan bahwa gerai Giant akan tutup yang terpampang jelas, baik di depan maupun di dalam gerai.

Lesunya industri ritel tak hanya ditandai dengan menurunnya jumlah Modern Trade, karena banyaknya gerai modern yang tutup. Jumlah General Trade—seperti warung atau toko tradisional—pun juga terus melorot. Menurut Joko Wiyono, Managing Director QASA Strategic Consulting, perubahan perilaku konsumen telah mendorong para pemilik merek untuk mengubah strategi retail marketing mereka.

"Ritel untuk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) menjadi salah satu industri yang dramatis berubah. Akan tetapi, meski ritel tradisional atau General Trade (GT) mengalami penurunan, namun GT masih sangat kuat di Indonesia jika dibandingkan modern trade," jelas Joko.

Sementara itu, tren berbelanja online yang kini tengah terjadi telah memicu pertumbuhan ritel online. Meski bertumbuh, namun jika dibandingkan dengan ritel offline, ritel online masih masih sangat kecil. "Ritel online melalui eCommerce mulai bertumbuh sejak 2014 lalu hingga sekarang," lanjut Joko.

Seiring dengan General Trade yang diprediksi masih akan tetap kuat ke depannya, tak sedikit pemilik toko atau warung tradisional yang sudah mau mengubah konsep toko atau warungnya menjadi warung "pintar", yakni warung yang tidak sekadar menjual produk, melainkan juga menambah layanan berupa pembayaran aneka tagihan listrik, BPJS, eCommerce, hingga membeli pulsa. Warung berkonsep seperti itulah yang sejatinya akan mampu eksis ke depannya.

Dipaparkan Joko, perubahan yang kini terjadi memang makin mempertajam "perang" di lapangan. Oleh karena itu, para pengelola merek dituntut untuk memahami perubahan di setiap lini. Di antaranya, memahami bagaimana shopper tetap bisa engage dengan brand untuk memicu penjualan serta memahami alasan mengapa shopper berbelanja di kanal tertentu, mengingat saat ini konsumen memiliki banyak pilihan tempat untuk mereka berbelanja.

Sementara itu, meski modern trade juga mengalami penurunan, namun kategori minimarket justru makin menjamur. Dua raksasa minimarket di Indonesia, jumlahnya gerainya pun makin massif merangsek ke berbagai hunian. Saat ini misalnya, Indomaret sudah tembus 15 ribu gerai dan Alfamart sudah mencapai 13 ribu gerai. Terus melonjaknya minimarket, karena para pemainnya mampu menjawab perubahan yang terjadi di market. Misalnya, menambah layanan aneka pembayaran, termasuk pembayaran belanja di eCommerce. Sebaliknya, kategori hipermarket terus tergerus dalam beberapa tahun terakhir.

Dikatakan Adrian Baskoro, Vice President Board of Director Federal Karyatama, modern trade dan general trade tetap akan bertahan, karena masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Modern trade atau mall berfungsi sebagai entry point merek untuk memperkenalkan produk baru, karena di sana orang hanya melihat, memegang, mencoba, dan membeli keperluan dalam sebulan.

Sementara itu, untuk return dan revenue terjadi di minimarket. Sebab, saat ini masyarakat sudah didekatkan lewat kehadiran minimarket yang ada di hampir setiap hunian. Dengan demikian, pembelian produk yang sifatnya impulse terjadi di minimarket atau warung dekat rumah,” papar Adrian.

Digital memang telah mendisrupsi hampir semua industri, termasuk ritel. Namun, the power of digital, menurut Adrian, justru membuat para pengelola ritel dapat dengan mudah menghimpun data yang terserak di pasar. “Namun, data itu akan menjadi percuma jika mereka tidak mampu memahami local wisdom dan actionable insight,” tegasnya

Ditambahkan Yudha Ariesto Wiryawan, Founder Step Up (Indonesia Salespreneurship Academy), ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi perubahan di era disrupsi seperti sekarang. Pertama, Confronting Reality. Tak sedikit pemasar yang sulit melihat fakta. Di antaranya, mereka salah memahami kompetisi di pasar, takut beraksi, dan tidak sadar akan pentingnya isu.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)