SENI PERMINTAAN MAAF ISTANA: KESEMPATAN PEMULIHAN HUBUNGAN

Istana Negara, dalam acara open house Idulfitri, menghadapi kericuhan. Kejadian ini menyoroti pentingnya seni permintaan maaf dalam memelihara hubungan publik yang sehat.

.

.

Rabu (10/04), Istana Negara mengadakan acara Open House. Tanpa diguga, open house Idulfitri 1445 Hijriah yang diprakarsai oleh Presiden Joko Widodo, terjadi kekisruhan akibat antrean panjang dan desakan kuat dari warga yang berusaha memasuki kompleks.

Kericuhan ini dipicu oleh tingginya antusiasme masyarakat yang berharap dapat mengikuti acara bersama Presiden dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo, namun terhambat oleh keterbatasan waktu dan prosedur keamanan yang ketat.

Pihak Istana, melalui Kepala Biro Protokol Sekretariat Presiden, Yusuf Permana, menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi dan mengakui bahwa tidak semua kehadiran masyarakat dapat diakomodasi.

Penyesalan ini menunjukkan pentingnya responsivitas dan tanggung jawab institusi dalam menghadapi situasi tak terduga, sekaligus menegaskan nilai empati dan kepedulian terhadap harapan serta kesejahteraan masyarakat.

Dalam era yang ditandai dengan keterbukaan informasi dan kecepatan penyebaran berita melalui media sosial, kemampuan untuk merumuskan permintaan maaf yang efektif menjadi semakin penting. Permintaan maaf bukan hanya tentang mengakui kesalahan, tetapi juga tentang memahami konteks, konsekuensi, dan proses pemulihan yang diperlukan.

Mengambil contoh dari permintaan maaf yang dilakukan oleh Istana Negara atas kekisruhan di pintu masuk acara Open House Idulfitri 1445 Hijriah, kita dapat melihat pentingnya respons yang cepat dan tepat dalam mengelola krisis komunikasi.

Roach (2013) dalam karyanya "The Art of the Apology" menyoroti pentingnya mengakui kesalahan sebagai langkah pertama dalam proses permintaan maaf. Namun, dalam konteks kekinian, terdapat dimensi tambahan yang harus diperhatikan, termasuk kecepatan respons, pemilihan platform untuk menyampaikan permintaan maaf, dan kebutuhan untuk menindaklanjuti kata-kata dengan tindakan nyata.

Menurut teori pemulihan citra oleh Benoit (1995), ada beberapa strategi yang bisa dipilih ketika menghadapi serangan terhadap karakter, termasuk mengakui kesalahan, menyangkal, mengabaikan, atau mengubah subjek.

Namun, dalam praktiknya, mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan tulus sering kali merupakan strategi yang paling efektif untuk memulihkan kepercayaan dan integritas, asalkan diikuti dengan tindakan yang menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)