Dalam situasi dan kondisi kompleksitas tinggi, mustahil bagi seseorang untuk sepenuhnya menganalisis lingkungan dan sampai pada kesimpulan rasional. Semakin kompleks dunia ini, semakin sulit untuk dianalisis.
Contoh paling sederhana adalah di dalam perusahaan atau dunia maya. Dalam perusahaan atau lingkungan dunia maya, banyak orang atau bagian yang saling berhubungan membentuk jaringan informasi dan prosedur yang rumit.Yang terlibat dalam hubungan itu beraneka ragam dan cenderung berbelit-belit, tetapi tidak selalu melibatkan perubahan.
Ambiguous mengacu pada kekurangjelasan tentang bagaimana menafsirkan sesuatu sehingga berpotensi terjadi kemelesetan dalam menginterpretasikannya.
Suatu situasi ambigu, misalnya, ketika informasi tidak lengkap, bertentangan atau terlalu tidak akurat digunakan untuk menarik kesimpulan.
Lebih umum itu mengacu pada ketidakjelasan dan ketidakjelasan dalam ide dan terminologi. Semakin ambigu, semakin sulit untuk menafsirkannya.
Secara dramatis VUCA mengubah lanskap pembelajaran dalam organisasi dan mendorong para profesional belajar beradaptasi lebih cepat daripada sebelumnya untuk mengimbangi.
Memasuki tahun 2020, dunia memasuki VUCA jilid dua. Dunia dilanda wabah COVID-19. Negara pertama yang melaporkan adanya gangguan paru-paru (pneumonia) adalah China pada 31 Desember 2019.
Kasus ini pertama kali dijumpai di Wuhan namun penyebabnya belum diketahui. Baru pada 11 Februari 2020, WHO mengumumkan nama untuk penyakit coronavirus baru adalah COVID-19.
Maret 2020, penyakit itu sudah menyebar ke banyak negara. Pada 24 Maret 20.203, di antara 169 negara di dunia, total kasus yang dikonfirmasi secara akumulatif mencapai 387.382, dan jumlah kematian mencapai 16.767 (Universitas Johns Hopkins, 2020). Ini menjadikan wabah ini sebagai sesuatu yang baru dalam sejarah kesehatan masyarakat.
Berkaca pada pengalaman-pengalaman di masa lau, setiap krisis meskipun telah pulih, namun meninggalkan perubahan struktural secara permanen. Resesi Global 2007–09 mempercepat perubahan - dari otomasi tempat kerja ke kebijakan perjalanan - yang tetap berlaku bahkan ketika ekonomi pulih. Lalu apa yang akan menjadi "normal baru" yang muncul setelah krisis COVID-19?
Pandemi corona secara fundamental berbeda dari resesi beberapa dekade terakhir. Pada saat great depression misalnya, ribuan orang tidak mati setiap minggu, jutaan orang tidak langsung menganggur, miliaran dolar tidak dipompakan ke paket stimulus dalam semalam, dan orang tidak dikarantina di rumah.
Namun demikian, krisis-krisis tersebut menghasilkan perubahan dalam pola berbelanja dan bagaimana konsumen melihat value dari sebuah merek. Secara alami, konsumen lebih tertarik pada penawaran harga karena mereka berbelanja dalam masa ekonomi yang sulit.
Konsumen juga mengubah prioritas barang-barang belanja mereka. Masker, pembersih tangan, telur dan obat-obatan harus dimiliki sementara belanja produk busana dan furniture dikurangi atau tidak sama sekali. Permintaan kategori-kategori khusus seperti tisu desinfektan, sarung tangan sekali pakai, dan suplemen pembangun kekebalan tubuh meningkat.
Mereka lebih memilih merek yang mereka kenal dan percayai. Merek-merek yang terjebak di posisi tengah mungkin tidak memiliki keberuntungan yang sama. Bisa jadi mereka dilupakan. Itu sebabnya, memastikan bahwa merek atau produk agar terus kelihatan, atau ketersediaan barang atau merek di rak belanja sangat penting, demikian juga penetapan harga.