Ethical Data-Driven Public Relations: Teknologi dengan Sentuhan Humanis

MIX.co.id - Tahun 2023 lalu terbit buku Artificial Intelligence in Public Relations and Corporate Communications, kumpulan tulisan berisi beragam kasus, refleksi, dan prediksi yang diedit Dr. Ana Adi, Profesor PR dan Corporate Communications dari Quadriga University of Applied Sciences, Berlin. Salah satu bagian penting buku itu mengungkap penggunaan AI untuk riset, terutama dalam analisis isu-isu strategis dan pemetaan para pemangku kepentingan (stakeholder mapping) sebagai tahap awal penyusunan strategi komunikasi atau perencanaan PR berbasis data (data-driven PR planning).

Hifni Alifahmi, pemerhati public relations, corporate communications, branding dan marketing communications. Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi Usahid.

Buku itu juga mengemukakan empat perubahan fokus profesi PR atau komunikasi yang mengalami reorientasi drastis: dari semula melayani kepentingan organisasi menjadi fasilitator para pemangku kepentingan, dari juru bicara yang mewakili organisasi menjadi pendengar kemauan publik, dari pengukuran jangka pendek menjadi evaluasi jangka Panjang, serta dari penekanan pada manfaat organisasi ke dampak sosial dan nilai sosial.

Dinamika PR terutama dalam dua dasawarsa ini memang berubah drastis. Loncatan transformasi media digital mengubah peta dunia PR. Fenomena itu mendorong kita untuk memahami pemunculan paradigma baru komunikasi dan PR di era modern dengan menelusuri perkembangan PR, setidaknya empat dasawarsa terakhir yang ditandai dengan perubahan interaktivitas antara teknologi media digital dan sifat alami manusia yang memiliki perasaan dan bersandar pada nilai-nilai universal.

Lompatan Pasca Empat Model PR

Untuk memahami konteks perubahan perspektif public relations, kita perlu menelusuri lorong waktu empat dekade lalu, saat Grunig dan Hunt (1984) mengenalkan empat model PR dalam buku Managing Public Relations. Model itu diawali dengan Press-Agentry (Publicity) Model yang tujuannya bersifat propaganda. Pada model ini, gaya komunikasi bersifat satu arah (monologis) dari pengirim pesan ke khalayak, tanpa peduli kebenaran informasi dan tidak berbasis riset.

Berikutnya Public Information Model, bertujuan untuk penyebaran informasi searah dari pengirim pesan ke khalayak. Kebenaran informasi mulai menjadi perhatian melalui data riset terhadap pembaca atau khalayak.  Berlanjut tahap ketiga, model komunikasi dua arah asimetrik (two-way asymmetric) untuk tujuan persuasi. Komunikasi memang mulai berubah dialogis dan memakai hasil riset, namun pengirim pesan masih dominan sehingga tidak berimbang (asimetrik).

 Model keempat, komunikasi dua arah simetrik (two-way symmetric) yang berimbang untuk membangun saling pengertian berbasis riset peta persepsi dan perilaku khalayak. Era digital mengubah gaya komunikasi dua arah yang lebih terbuka dan menjadikan khalayak juga sebagai produsen konten yang aktif.

Sejak dicetuskan empat model PR pada 1984, dua puluh lima tahun kemudian Grunig (2009) menulis sendiri tanpa Hunt tentang penerapan empat model PR itu dengan memasukkan beragam media baru online dan media sosial ke dalam empat tahap model tersebut. Grunig pada sisi horizontal menempatkan kata Low-Trust di sisi kiri untuk dua model pertama dan makin High-Trust untuk dua model berikutnya. Pada sisi vertikal tertulis Production Cost (rendah sampai tinggi) untuk beragam media yang digunakan.

Kini empat dasawarsa kemudian terjadi lompatan setelah dicetuskan empat model PR oleh James Grunig dan Todd Hunt pada 1984. Apakah empat model PR tersebut masih relevan? Dua bagian ulasan berikut ini yakni Pemunculan Model Kelima PR dan Dialogic Engagement PR diharapkan bisa memperjelas arah perkembangan PR berbasis data.

Pemunculan Model Kelima PR

Tampaknya model baru PR diperlukan. Pertama, model press-agentry (publicity) mencemarkan nama baik PR dan jurnalis karena sifat transaksional demi untuk publisitas media yang kurang berkualitas dan mengabaikan kebenaran informasi, juga merugikan banyak pihak. Kedua, kejujuran dan kebenaran informasi perlu menjadi perhatian khusus karena keterbukaan informasi mendorong penyalah-gunaan privasi data pribadi dan kerahasiaan informasi serta kebohongan publik. Ketiga, ada yang tergerus di era digital, yakni sentuhan emosi, empati, nilai-nilai etika, dan sifat humanis perlu agar media digital tidak mekanis tanpa rasa, tanpa pijakan nilai kebenaran.

Sepuluh tahun lalu muncul model kelima PR dalam buku Reputation Management, disunting Doorley dan Garcia (2015) menyebut model The Rise of Media Clover Leaf, perpaduan dari media Tradisional (cetak dan siar), Hybrid (misal versi dot.com dari media tradisional ke media digital), dan media Sosial (Facebook, Instagram, Twitter, YouTube). Sementara Owned media, milik perusahaan atau produk dari website sampai media sosial.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)