Why Social Media Needs Conventional Media and Conventional Media Needs Social

newspapers
Tahun 2012 lalu, data Nielsen Indonesia menunjukkan bahwa perolehan iklan di Indonesia tercatat mencapai lebih dari Rp87 triliun atau tumbuh sekitar 20% dari tahun sebelumnya. Disini stasiun televisi masih mendominasi pangsa iklan dengan meraup 64% dari total belanja iklan, diikuti oleh surat kabar (33%) dan majalah, serta tabloid (3%).
Perusahaan telekomunikasi masih menjadi pengiklan terbesar di semua media pada 2012 dengan menghabiskan dana Rp4,9 triliun, walau nilai belanja iklannya mengalami penurunan 15% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pengiklan kedua terbesar pada 2012 adalah kategori pemerintahan/partai politik dengan belanja iklan lebih dari Rp4,3 triliun, disusul oleh kategori perawatan rambut dengan nilai lebih dari Rp4,1 triliun.
Melonjaknya belanja iklan pemerintahan dan partai politik – ditambah iklan layanan masyarakat -- mendongkrak belanja iklan di surat kabar, sementara di majalah didukung oleh iklan-iklan sektor otomotif. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, kenapa dalam suasana hiruk pikuk media sosial yang disebut-sebut menawarkan banyak kelebihan, iklan di media konvensional masih juga tumbuh?
Pertimbangkan kekuatan televisi: jangkauannya yang luas, dampak langsung pada penjualan telah terbukti efektif selama bertahun-tahun (perhatikan respon pembacadan audience atas tawaran iklan promo di akhir pecan), dan secara universal diterima oleh penyedia data. Sekarang perhatikan kelemahan terbesar TV : tidak memberikan keleluasaan pemirsa memilih iklan-iklan yang dibutuhkan dan berkomunikasi dua arah sehingga pemirsa tidak bisa langsung merespon tawqawan melalui iklan yang diterimanya.
Di sinilah iklan melalui media sosial masuk. Kini makin banyak merek yang menggunakan media sosial sebagai megafon untuk mendukung kampanye televisi, mengarahkan earned media sehingga bisa meningkatkan preferensi serta menurunkan biaya per tayang. Selain itu, karena orang selalu berbicara secara online, media sosial memungkinkan merek untuk memantau dan mempengaruhi percakapan sehingga preferensi tidak pernah turun ke bawah.
Oleh karena itu, keuntungan jangka pendek yang menjadi keunggulan televisi menumbuhkan advokasi jangka panjang. Artinya, dengan munculnya sosial, merek mendapat peluang untuk membangun loyalitas yang kuat dengan cara melengkapi melengkapi pesan yang ditayangkan di media TV. Bahkan jika dilakukan dengan benar, TV dapat meningkatkan percakapan.
Gambaran tersebut bukan berarti media sosial tudak memiliki kelemahan. Sebab bagaimana pun masuk ke media sosial ibarat masuk lautan informasi yang secara akurat tersedia bagi konsumen. Data Nielsen menunjukkan bahwa penggunaan internet tertinggi di Indonesia adalah untuk jejaring sosial dengan 75,3% (sedikit menurun dibandingkan tahun lalu yang 76,3%). Selain itu, penggunaan internet untuk mengunduh perangkat lunak atau dokumen. Angka ini meningkat menjadi 37,3% dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 33%.
Banyak pengguna internet di Indonesia yang mengaksesnya melalui ponsel. Padahal, iklan-iklan di layar ponsel jelas tidak bisa banyak karena kecilnya ruang untuk beriklan. Selain itu, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh mereka yang berusia muda. Dalam hal ini, banyak perusahaan atau pemilik merek merasa bahwa iklan di media digital tidak mampu menjangkau sebagian besar dari target mereka yang sebagian besar berada di usia dewasa.
Sekarang sesekali Anda mencoba mengetes pasar. Tanyakan berapa banyak rumah tangga yang terjangkau oleh media sosial. Anda akan mendapatkan satu nomor telepon dari seorang penghuni rumah, satu rumah tangga memiliki banyak penghuni rumah sehingga satu rumah tangga memiliki banyak nomor telepon yang masing-masing bisa akses ke internet. Mintalah seseorang menyebutkan berapa banyak tayangan iklan sosial disampaikan, Anda mungkin mendapatkan empat jawaban yang berbeda. Ini menciptakan skeptisisme.
Hal lainnya adalah bahwa di sosial media, Facebook masih menjadi situs yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia. Bila diperhatikan penggunaan media sosial ini lebih banyak untuk hal-hal yang tidak produktif. Kalau pun digunakan untuk hal-hal yang produktif seperti untuk iklan, karena karakter sosialnya, pemilik akun akan mendelete mereka bila akun mereka disusupi dengan iklan.
Kedua, disparitas antara kota dan daerah. Data yang dikumpulkan salingsilang.com memberikan gambaran dominasi percakapan di Twitte di kota-kota besar. Sementara itu dilihat dari wilayahnya, tweet-tweet tersebut makin jauh persentasenya. Ambil contoh Bandung yang merupakan penyumbang 14% tweet total di Indonesia. Akan tetapi, Jawa Barat hanya menyumbangkan sekitar 5 % tweet secara nasional. Artinya, terjadi distribusi yang kurang merata tweet yang terjadi di wilayah Jawa Barat tersebut.
Ini memberikan gambaran terbatasnya penyebaran media sosial sosial sehingga ketika berbicara soal target market, pertimbangan penetrasi media ini menjadi pertimbangan penting. Barngkali fenomena inilah yang bisa memberikan penjelasan kenapa sosial media dalam Pilkada Gubernur Jawa Barat tidak seefektif dalam Pilkada DKI. Untuk membuktikan hal itu, diperlukan studi yang lebih mendalam. Namun yang pasti sosial media memang bukan satu-satunya media penyampai pesan. Paling tidak, sampai saat ini, dibutuhkan media lain sehingga suatu pesan memiliki gaung yang lebih besar dan luas. (Jakarta, 13 Mei 2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)