Inisiatif Kerri Na Basaria untuk Tobatenun

Tinggal lama di Inggris sejak duduk di bangku SMA hingga menyelesaikan kuliah, tak membuat Kerri Na Basaria melupakan Tanah Air. Selepas lulus kuliah, justru gadis kelahiran Amerika, 27 Februari 1991 silam itu justru memilih pulang kampung untuk mengurus yayasan milik keluarga yang didirikan pada tahun 2001, Del.

Di usia mudanya, Kerri mengembangkan pilar budaya yang belum ada di Yayasan Del. "Selama ini, Yayasan Del telah mengusung pilar pendidikan dan sosial untuk mereka yang tidak memiliki kesempatan menempuh pendidikan. Di antaranya, kami telah memiliki sekolah SMA Unggul Del dan Institut Teknologi Del di Sumatra Utara. Selain itu, kami juga punya sekolah Noah, setingkat TK, SD, dan SMP di Cijantung, Jakarta," ceritanya.

Selanjutnya, untuk mengembangkan pilar budaya, Kerri yang berdarah Batak, menggagas sekaligus menghadirkan program "Tobatenun" pada 2018. Keputusan itu berangkat dari keprihatinan Kerri terhadap para penenun di kawasan Toba dan Samosir yang hanya menerima upah rendah dari setiap hasil tenun Toba atau kain Ulos yang mereka kerjakan.

"Dari sehelai kain tenun atau Ulos yang dijual Rp 1 jutaan hingga Rp 2 jutaan, para penenun hanya menerima sepersepuluhnya. Padahal, pengerjaan satu kain tenun saja membutuhkan waktu sebulan. Hal itu membuat perempuan di sana mulai meninggalkan profesi penenun, untuk kemudian mencari mata pencaharian lain yang menawarkan pendapatan lebih baik," ia mengisahkan.

Keprihatinan Kerri akan masa depan para penenun di kawasan Tapanuli Utara dan kepunahan Ulos, membuatnya bersemangat menggelar program Tobatenun. Ia pun mulai mencari insight tentang kondisi para penenun di sana. Termasuk, ketertinggalan Ulos di antara kain tradisional lain.

Objektif dari program Tobatenun adalah membuat penenun diakui sebagai artisan, bukan hanya sebagai pekerja biasa. Sebab, bagi Kerri yang mereka lakukan adalah sebuah karya seni. Ia juga bertekad untuk mengubah mindset orang, terutama orang Batak sendiri, yang menganggap penenun hanya sebagai pekerja. "Salah satu cara menghargainya adalah dengan membayar karya tenun dengan harga yang pantas," lanjutnya.

Revitalisasi Ulos juga menjadi objektif lain dari program Tobatenun. Antara lain, dengan menghadirkan motif tenun lama dengan inovasi motif kekinian. Sebab, diungkapkan Kerri, selama ini para penenun hanya menghadirkan motif sesuai orderan para Tokek Benang, yang notabene dikenal sebagai mafia benang.

Langkah awal yang dilakukan Kerri adalah melakukan edukasi market dan membangun brand awareness tentang tenun Tapanuli, yakni Ulos. Yayasan Del pun menggelar eksibisi Tenun Ulos di Museum Tekstil, Jakarta. "Pada eksibisi itu, kami menghadirkan tayangan video dan foto tentang kehidupan para penenun di Tapanuli Utara, termasuk bagaimana proses pengerjaan tenun," ujarnya.

Hasilnya, tak hanya orangtua, namun anak-anak muda atau millennials banyak yang berkunjung dan mengapresiasi tenun dan para pekerjanya. "Target kami, memang tak hanya orang Batak yang tinggal di Jakarta, tetapi non Batak serta segmen millennials pun menjadi target kami agar mereka memiliki kesadaran untuk memelihara kekayaan tenun Ulos, dengan menyukai, membeli, dan menggunakanya," harapnya.

Sementara itu, bagi para penenun, Kerri melakukan edukasi berupa workshop terkait motif, pemasaran, maupun finansial. "Kami juga akan menghadirkan Sentra Tenun di sana serta membuat e-Commerce Tobatenun sebagai kanal pemasaran hasil tenun Ulos. E-Commerce yang akan kami hadirkan pada akhir tahun 2019 ini, tidak sekadar sebagai wadah penjualan, tetapi juga akan informatif. Untuk itu, kami juga akan menyajikan kisah di balik para penenun yang membuatnya berikut foto si penenun," papar Kerri.

Saat ini, Yayasan Del masih melakukan binaan terhadap 10 penenun di Tapanuli Utara. Ke depannya, mereka diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang dapat menularkan semangat perubahan yang positif itu kepada sesama perempuan penenun di sana. "Setidaknya, mereka tidak lagi menjadi second class citizen dan tercipta regenerasi penenun," Kerri menargetkan.

Kampanye komunikasi lainnya yang juga dilakukan Kerri adalah dengan memanfaatkan media sosial seperti Instagram. Melalui media sosial, ia dapat mengkomunikasin program Tobatenun serta cerita di balik para penenun di Tapanuli Utara. Sejatinya, melalui media sosial, Kerri juga mampu menjangkau segmen millennials, yang memang sangat "melek" media sosial.

Semangat Kerri memelihara budaya tanah leluhurnya memang tak tanggung-tanggung. Terbukti, ia kembali mengambil kuliah S1 keduanya di Open University, Inggris. Melalui kuliah online itu, ia dapat mempelajari studi Social Enterprise dan Management, demi mensukseskan inisiatif sosial Tobatenun. "Saya kuliah online pada dini hari, pukul 2 hingga 3.30, karena waktunya harus disesuaikan dengan di Inggris," terang dara yang hobby menyambangi museum itu sumringah.

Selain fokus pada pengembangan Tobatenun, Kerri juga memiliki kepedulian yang sangat tinggi pada masalah sampah di Indonesia. Oleh karena itu, ia tidak ragu untuk terjun langsung memberikan sosialisasi dan edukasi mengenai masalah sampah. Ia pun bekerja sama dengan beragam komunitas yang memiliki program mengatasi masalah sampah di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)